Iklan 2

Selasa, 24 Januari 2012

Dzikir Berjama'ah, Doa Qunut, dan Sifat 20 Bukan Bid'ah

Sebetulnya dalam memvonis Bid'ah itu harus hati-hati. Karena menurut Nabi: Bid'ah itu sesat dan semua yang sesat itu masuk neraka. Jika yang kita tuduh bid'ah/sesat itu ternyata benar, maka kitalah yang sesat dan masuk neraka. Jadi untuk memvonis bid'ah/sesat itu harus berdasarkan Ijma'/Kesepakatan Ulama. Bukan oleh segelintir ulama dari aliran tertentu yang memang ekstrim.


Apalagi ternyata pembid'ahan yang mereka lakukan itu karena kurangnya ilmu. Ada yang menuduh Dzikir berjama'ah bid'ah, Doa Qunut Bid'ah, Pengajaran Sifat 20 bid'ah, dsb. Mereka tidak tahu kalau yang dituduh bid'ah ternyata punya hujjah dari Al Qur'an dan Hadits. Di antaranya.



Dalil Dzikir Berjama'ah:


Hadis riwayat Abu Hurairah ra., ia berkata:
Rasulullah saw. bersabda: Allah Taala berfirman: Aku sesuai dengan persangkaan hamba-Ku terhadap-Ku dan Aku selalu bersamanya ketika dia mengingat-Ku. Apabila dia mengingat-Ku dalam dirinya, maka Aku pun akan mengingatnya dalam diri-Ku. Apabila dia mengingat-Ku dalam suatu jemaah manusia, maka Aku pun akan mengingatnya dalam suatu kumpulan makhluk yang lebih baik dari mereka. Apabila dia mendekati-Ku sejengkal, maka Aku akan mendekatinya sehasta. Apabila dia mendekati-Ku sehasta, maka Aku akan mendekatinya sedepa. Dan apabila dia datang kepada-Ku dengan berjalan, maka Aku akan datang kepadanya dengan berlari. (Shahih Muslim No.4832)


Hadis riwayat Abu Hurairah ra.:
Dari Nabi saw., beliau bersabda: Sesungguhnya Allah Yang Maha Memberkahi lagi Maha Tinggi memiliki banyak malaikat yang selalu mengadakan perjalanan yang jumlahnya melebihi malaikat pencatat amal, mereka senantiasa mencari majelis-majelis zikir. Apabila mereka mendapati satu majelis zikir, maka mereka akan ikut duduk bersama mereka dan mengelilingi dengan sayap-sayapnya hingga memenuhi jarak antara mereka dengan langit dunia. Apabila para peserta majelis telah berpencar mereka naik menuju ke langit. Beliau melanjutkan: Lalu Allah Yang Maha Mulia lagi Maha Agung menanyakan mereka padahal Dia lebih mengetahui daripada mereka: Dari manakah kamu sekalian? Mereka menjawab: Kami datang dari tempat hamba-hamba-Mu di dunia yang sedang mensucikan, mengagungkan, membesarkan, memuji dan memohon kepada Engkau. Allah bertanya lagi: Apa yang mereka mohonkan kepada Aku? Para malaikat itu menjawab: Mereka memohon surga-Mu. Allah bertanya lagi: Apakah mereka sudah pernah melihat surga-Ku? Para malaikat itu menjawab: Belum wahai Tuhan kami. Allah berfirman: Apalagi jika mereka telah melihat surga-Ku? Para malaikat itu berkata lagi: Mereka juga memohon perlindungan kepada-Mu. Allah bertanya: Dari apakah mereka memohon perlindungan-Ku? Para malaikat menjawab: Dari neraka-Mu, wahai Tuhan kami. Allah bertanya: Apakah mereka sudah pernah melihat neraka-Ku? Para malaikat menjawab: Belum. Allah berfirman: Apalagi seandainya mereka pernah melihat neraka-Ku? Para malaikat itu melanjutkan: Dan mereka juga memohon ampunan dari-Mu. Beliau bersabda kemudian Allah berfirman: Aku sudah mengampuni mereka dan sudah memberikan apa yang mereka minta dan Aku juga telah memberikan perlindungan kepada mereka dari apa yang mereka takutkan. Beliau melanjutkan lagi lalu para malaikat itu berkata: Wahai Tuhan kami! Di antara mereka terdapat si Fulan yaitu seorang yang penuh dosa yang kebetulan lewat lalu duduk ikut berzikir bersama mereka. Beliau berkata lalu Allah menjawab: Aku juga telah mengampuninya karena mereka adalah kaum yang tidak akan sengsara orang yang ikut duduk bersama mereka. (Shahih Muslim No.4854)


Selengkapnya bisa dibaca di sini:


http://syiarislam.wordpress.com/2011/01/28/dalil-dzikir-berjamaah/


Aneh kan kalau sholat berjama'ah pahalanya 27 kali lipat lebih banyak daripada sholat sendiri, doa bersama juga boleh, saat dzikir berjama'ah lantas ada kelompok yang menuduh itu bid'ah, sesat, masuk neraka. Justru kelompok inilah yang sesat dan masuk neraka.



Dalil Dzikir dengan Suara Keras/Jahr seperti Sholat Isya


Hadis riwayat Abu Musa ra., ia berkata:
Ketika kami sedang bersama Rasulullah saw. dalam suatu perjalanan, mulailah orang-orang mengeraskan suara mereka dalam membaca takbir lalu bersabdalah beliau: Wahai manusia, rendahkanlah suara kamu sekalian! Karena kamu sekalian sesungguhnya tidak sedang memohon kepada yang tuli maupun yang gaib bahkan kamu sekalian sedang memohon kepada Tuhan Yang Maha Mendengar lagi Maha Dekat Yang selalu bersama kamu sekalian. Aku pada saat itu berada di belakang beliau sambil mengucapkan: "Laa haula wa laa quwata illa billah", (Tidak ada daya dan kekuatan kecuali berkat bantuan Allah). Rasulullah saw. berkata: Wahai Abdullah bin Qais! Maukah kamu aku tunjukkan kepada salah-satu kekayaan surga yang tersimpan? Aku menjawab: Tentu, wahai Rasulullah. Beliau bersabda: Yaitu ucapan: "Laa haula wa laa quwata illa billah". (Shahih Muslim No.4873)


Sebetulnya suara keras yang dilarang adalah berteriak nyaring seperti keledai. Ada pun dengan suara yang lembut seperti Abdullah bin Qais di atas sehingga didengar oleh Nabi justru dibolehkan.


“Sesungguhnya seburuk-buruk suara ialah suara keledai. ” [Luqman 19]


“Ia berdoa kepada Tuhannya dengan suara yang lembut” [Maryam 3]


Dari Ibnu ’Abbas Ra. berkata: “bahwasanya dzikir dengan suara keras setelah selesai shalat wajib adalah biasa pada masa Rasulullah SAW”. Kata Ibnu ’Abbas, “Aku segera tahu bahwa mereka telah selesai shalat, kalau suara mereka membaca dzikir telah kedengaran”.[Lihat Shahih Muslim I, Bab Shalat. Hal senada juga diungkapkan oleh al Bukhari (lihat: Shahih al Bukhari hal: 109, Juz I)]


Diriwayatkan dari Abi Hurairah, ia berkata: Rasulullah saw bersabda: Allah Yang Maha Perkasa lagi Maha Agung berfirman: Aku adalah menurut sangkaan hamba-Ku kepada-Ku, dan Aku bersamanya ketika ia berzikir (dengan menyebut nama)Ku. Jika ia mengingat Aku dalam dirinya, maka Aku mengingatnya dalam Diri-Ku, dan jika ia menyebut nama-Ku dalam sekelompok manusia, maka Aku menyebutnya dalam sekelompok manusia yang lebih baik dari mereka. Jika ia mendekati-Ku sejengkal, maka Aku mendekatinya sehasta, jika ia mendekati-Ku sehasta, maka Aku mendekatinya sedepa. Jika ia mendatangi-Ku dengan berjalan, maka Aku mendatanginya dengan berlari kecil. [HR. Muslim, Kitab az-Zikr, No. 2/2675].


Diriwayatkan dari Abi Musa, ia berkata: Kami pernah bersama Nabi saw dalam suatu perjalanan. Kemudian orang-orang mengeraskan suara dalam bertakbir. Lalu Nabi saw bersabda: Hai manusia, kecilkanlah suaramu, sebab kamu tidak berdoa kepada orang yang tuli dan jauh, melainkan kamu berdoa kepada Yang Maha Mendengar lagi Maha Dekat, dan Dia bersamamu … [HR. Muslim, Kitab az-Zikr, No. 44/2704].


Dari berbagai hadits di atas sebetulnya kita bisa menarik kesimpulan bahwa dzikir berjama’ah dan suara jahar/keras seperti sholat Subuh, Maghrib, dan Isya itu dibolehkan. Jika tidak, tentu dalam sholat tersebut kita dilarang mengeraskan suara.


Yang dilarang adalah suara keras yang berteriak-teriak seperti keledai sehingga mengganggu orang lain. Ibaratnya jika ada orang berbicara dengan kita dengan berteriak-teriak dengan suara keras tentu kita tersinggung bukan? Kita tidak tuli. Tapi kalau berbisik-bisik tidak kedengaran juga kita tidak bisa mendengar.


Jika dzikir berjama’ah dan bersuara keras itu dilarang, dan orang dzikir sendirian dengan tidak bersuara, niscaya kita tidak akan bisa mendapatkan berbagai dzikir dari Nabi. Afala ta’quluun. Apakah kalian tidak berakal? Begitu kata Allah.



Pengajaran Sifat 20 Bukan Bid'ah/Sesat


Terlalu gegabah jika menganggap Sifat 20 dari Abu Hasan Al Asy’ari sesat hanya karena Abu Hasan wafat tahun 324 H.
Sifat 20 seperti Allah itu Ada, Allah itu Satu, Allah itu Maha Hidup, Allah Maha Kuasa itu semua ada dalilnya dalam Al Qur’an.


Jika begitu dianggap sesat, berarti Tauhid Uluhiyah dan Rububiyah yg diajarkan Muhammad bin Abdul Wahab lebih sesat lagi karena dia meninggal di tahun 1206 H. Saat kegelapan Islam. Kalau Imam Asy’ari masih di 7 abad pertama jayanya Islam. Nabi juga tidak pernah mengajarkan ummatnya bahwa ada Tauhid Rububiyah, Uluhiyah, dan Asma wa Shifat.


Mungkin ada yang protes jika Sifat 20 itu wajib dipelajari bagi setiap Muslim. Bukankah yang berwenang menentukan wajib itu hanya Allah? Sebetulnya jika kita kaji bukan begitu maksudnya. Sifat 20 itu wajib ada pada Tuhan yang sejati. Artinya jika “Tuhan” itu tidak punya sifat seperti Esa (misalnya ada 3), Hidup (misalnya dia mati), atau Kuasa (misalnya lemah), maka itu bukan Tuhan yang asli. Itu maksudnya.




Tuduhan bahwa Sifat 20 itu sesat karena membatasi sifat Tuhan juga keliru. Memang sifat Allah tidak terhingga. Namun mengajarkan hanya 20 Sifat itu tidak berarti sesat. Allah sendiri kadang hanya mengajarkan beberapa sifat saja kepada manusia. Misalnya pada Syahadah Laa ilaaha illallahu, hanya ada Sifat Allah itu Ada dan Allah itu Esa. Hanya 2 sifat.


Pada surat Al Ikhlas yang disatu hadits disebut nilainya 1/3 Al Qur’an juga disebut hanya 5 sifat: Allah itu Esa, Allah tempat bergantung, Tidak melahirkan, Tidak dilahirkan, dan Tidak ada satu pun yang setara denganNya. Jadi keliru jika mengatakan mengajarkan 20 sifat itu sesat berdasar dalil di atas.


Justru dengan pengajaran Sifat 20 yang sederhana itulah maka ummat Islam jadi kenal sifat-sifat Allah secara baik. Aqidahnya jadi mantap. Pengajaran Sifat-sifat Allah seperti: Wujud (Ada), Wahdaniyah (Satu), Hayat (Hidup), ‘Ilmu (Maha Mengetahui), Qudrat (Kuasa), dan sebagainya begitu mudah dipahami. Dan semua Sifat itu ada dalilnya di Al Qur’an. Silahkan baca:


http://media-islam.or.id/2009/11/08/sifat-20-allah-yang-penting-dan-wajib-kita-ketahui


Ini beda dengan Tauhid susunan Muhammad bin Abdul Wahab seperti Uluhiyah, Rububiyah, dan Asma’ wa Shifat yang justru sukar dipahami oleh awam.


Lalu kenapa kita tidak mengajar Asma’ul Husna yang terdiri dari 99 nama? Asma’ul Husna tetap diajarkan. Anda bisa mempelajarinya di:


http://media-islam.or.id/2007/09/14/asma%E2%80%99ul-husna/


Meski demikian, 99 nama itu jangankan untuk dipahami. Dihafal semuanya saja sulit. Dari 10 Muslim, paling hanya 1 yang hafal. Saya bahkan belum pernah menemukan website yang menjelaskan 99 nama tersebut secara rinci.




Do'a Qunut Subuh Bukan Bid'ah


A. Hukum Membaca Qunut Subuh

Di dalam madzab syafii sudah disepakati bahwa membaca doa qunut dalam shalat subuh pada I’tidal rekaat kedua adalah sunnah ab’ad. Sunnah Ab’ad artinya diberi pahala bagi yang mengerjakannya dan bagi yang lupa mengerjakannya disunnahkan menambalnya dengan sujud  syahwi.


Tersebut dalam Al majmu’ syarah muhazzab jilid III/504 sebagai berikut :


“Dalam madzab syafei disunnatkan qunut pada waktu shalat subuh baik ketika turun bencana atau tidak. Dengan hukum inilah berpegang mayoritas ulama salaf dan orang-orang yang sesudah mereka. Dan diantara yang berpendapat demikian adalah Abu Bakar as-shidiq, Umar bin Khattab, Utsman bin affan, Ali bin abi thalib, Ibnu abbas, Barra’ bin Azib – semoga Allah meridhoi mereka semua. Ini diriwayatkan oleh Baihaqi dengan sanad yang shahih. Banyak pula orang tabi’in dan yang sesudah mereka berpendapat demikian. Inilah madzabnya Ibnu Abi Laila, Hasan bin Shalih, Malik dan Daud.”


Dalam kitab al-umm jilid I/205 disebutkan bahwa Imam syafei berkata :


“Tidak ada qunut pada shalat lima waktu selain shalat subuh. Kecuali jika terjadi bencana, maka boleh qunut pada semua shalat jika imam menyukai”.


Imam Jalaluddin al-Mahalli berkata dalam kitab Al-Mahalli jilid I/157 :


“Disunnahkan qunut pada I’tidal rekaat kedua dari shalat subuh dan dia adalah “Allahummahdinii fiman hadait….hingga akhirnya”.


Demikian keputusan hokum tentang qunut subuh dalam madzab syafii.


B. Dalil-Dalil Kesunattan qunut subuh


Berikut ini dikemukakan dalil dalil tentang kesunnatan qunut subuh yang diantaranya adalah sebagai berikut : 


1. Hadits dari Anas ra.


“Bahwa Nabi saw. pernah qunut selama satu bulan sambil mendoakan kecelakaan atas mereka kemudian Nabi meninggalkannya.Adapun pada shalat subuh, maka Nabi melakukan qunut hingga beliau meninggal dunia”


Hadits ini diriwayatkan oleh sekelompok huffadz dan mereka juga ikut meriwayatkannya dan mereka juga ikut menshahihkannya. Diantara ulama yang mengakui keshahihan hadis ini adalah Hafidz Abu Abdillah Muhammad ali al-balkhi dan Al-Hakim Abu Abdillah pada beberapa tempat di kitabnya serta imam Baihaqi. Hadits ini juga turut di riwayatkan oleh Darulquthni dari beberapa jalan dengan sanad-sanad yang shahih.


Dikatakan oleh Umar bin Ali Al Bahiliy, dikatakan oleh Khalid bin Yazid, dikatakan Jakfar Arraziy, dari Arrabi’ berkata : Anas ra ditanya tentang Qunut Nabi saw bahwa apakah betul beliau saw berqunut sebulan, maka berkata Anas ra : beliau saw selalu terus berqunut hingga wafat, lalu mereka mengatakan maka Qunut Nabi saw pada shalat subuh selalu berkesinambungan hingga beliau saw wafat, dan mereka yg meriwayatkan bahwa Qunut Nabi saw hanya sebulan kemudian berhenti maka yg dimaksud adalah Qunut setiap shalat untuk mendoakan kehancuran atas musuh musuh, lalu (setelah sebulan) beliau saw berhenti, namun Qunut di shalat subuh terus berjalan hingga beliau saw wafat. (Sunan Imam Baihaqi Alkubra Juz 2 hal 211 Bab Raf’ul yadayn filqunut, Sunan Imam Baihaqi ALkubra Juz 3 hal 41, Fathul Baari Imam Ibn Rajab Kitabusshalat Juz 7 hal 178 dan hal 201, Syarh Nawawi Ala shahih Muslim Bab Dzikr Nida Juz 3 hal 324, dan banyak lagi).


2. Hadits dari Awam Bin Hamzah dimana beliau berkata :


“Aku bertanya kepada Utsman –semoga Allah meridhoinya-  tentang qunut pada Subuh. Beliau berkata : Qunut itu sesudah ruku. Aku bertanya :” Fatwa siapa?”, Beliau menjawab : “Fatwa Abu Bakar, Umar dan Utsman Radhiyallahu ‘anhum”.


Hadits ini riwayat imam Baihaqi dan beliau berkata : “Isnadnya Hasan”. Dan Baihaqi juga meriwayatkan hadits ini dari Umar Ra. Dari beberapa jalan.


3.  Hadits  dari Abdullah bin Ma’qil at-Tabi’i


“Ali Ra. Qunut pada shalat subuh”.


Diriwayatkan oleh Baihaqi dan beliau berkata : “Hadits tentang Ali Ra. Ini shahih lagi masyhur.


4. Hadits dari Barra’ Ra. :


“Bahwa Rasulullah Saw. melakukan qunut pada shalat subuh dan maghrib”. (HR. Muslim).


5.   Hadits dari Barra’ Ra. :


“Bahwa Rasulullah Saw. melakukan qunut pada shalat subuh”. (HR. Muslim).


Hadits no. 4  diriwayatkan pula oleh Abu Dawud dengan tanpa penyebutan shalat maghrib. Imam Nawawi dalam Majmu’ II/505 mengatakan : “Tidaklah mengapa meninggalkan qunut pada shalat maghrib karena qunut bukanlah sesuatu yang wajib atau karena ijma ulama menunjukan bahwa qunut pada shalat maghrib sudah mansukh hukumnya”.


6.  Hadits dari Abi rofi’


“Umar melakukan qunut pada shalat subuh sesudah ruku’ dan mengangkat kedua tangannya  serta membaca doa dengn bersuara”. (HR Baihaqi dan ia mengatakan hadis ini shahih).


7.  Hadits dari ibnu sirin, beliau berkata :


“Aku berkata kepada anas : Apakah Rasulullah SAW. melakukan qunut pada waktu subuh? Anas menjawab : Ya, begitu selesai ruku”. (HR. Bukhary Muslim).


8.  Hadits dari Abu hurairah ra. Beliau berkata :


“Rasulullah Saw. jika beliau mengangkat kepalanya dari ruku pada rekaat kedua shalat subuh beliau mengangkat kedua tangannya lalu berdoa : “Allahummah dini fii man hadait ….dan seterusnya”. (HR. Hakim dan dia menshahihkannya).


9.   Hadits dari  Hasan bin Ali bin Abi Thalib ra. Beliau berkata :


“Aku diajari oleh rasulullah Saw. beberapa kalimat yang aku ucapkan pada witir yakni :  Allahummah dini fii man hadait ….dan seterusnya” (HR Abu Dawud, Tirmidzi, Nasai dan selain mereka dengan isnad yang shahih)


10.  Hadits  dari Ibnu Ali bin  Thalib ra.


Imam Baihaqi meriwayatkan dari Muhammad bin Hanafiah dan beliau adalah Ibnu Ali bin  Thalib ra. Beliau berkata :


“Sesungguhnya doa ini adalah yang dipakai oleh bapakku pada waktu qunut diwaktu shalat subuh” (Al-baihaqi II/209).


11.  Hadist doa qunut subuh dari Ibnu Abbas ra. :


Tentang doa qunut subuh ini, Imam baihaqi juga meriwayatkan dari beberapa jalan yakni ibnu abbas dan selainnya:


“Bahwasanya Nabi Saw. mengajarkan doa ini (Allahummah dini fii man hadait ….dan seterusnya) kepada para shahabat agar mereka berdoa dengannya pada waktu qunut di shalat subuh” (Al-baihaqi II/209).


Demikianlah Beberapa Dalil yang dipakai para ulama-ulama shlusunnah dari madzab syafiiyah berkaitan dengan fatwa mereka tentang qunut subuh.


 Dari sini dapat dilihat keshahihan hadis-hadisnya karena dishahihkan oleh Imam-imam hadits ahlusunnah yang terpercaya. Hati-hati dengan orang-orang khalaf akhir zaman yang lemah hafalan hadisnya tetapi mengaku ahli hadis dan banyak mengacaukan hadis-hadis seperti mendoifkan hadis shahih  dan sebaliknya.


 https://www.facebook.com/note.php?note_id=178269995551609


Hadits di atas cukup banyak dan Imam Syafi'ie menyatakan bahwa Doa Qunut pada sholat Subuh adalah Sunnah Ab'ad. Karena Nabi juga pernah melakukan do'a qunut, maka yang menyebut Doa Qunut sebagai bid'ah salah besar. Bid'ah itu artinya sesuatu yang baru yang Nabi TIDAK PERNAH MENGERJAKANNYA.  Nah Nabi kan sudah mengerjakan Doa Qunut berkali-kali. Jadi keliru jika mengatakan Doa Qunut itu bid'ah.


Ustad Ahmad Sarwat LC menulis:


Seperti klaim bahwa zikir berjamaah dengan satu komando dianggap bid'ah, itu hanya klaim dari satu pihak tertentu. Apakah klaim itu benar atau tidak, masih harus dijelaskan lagi. Tetapi yang jelas, klaim itu hanyalah sebuah pendapat, bukan sesuatu yang didasarkan pada dalil yang sharih dan shahih. Klaim itu bisa diabaikan, selama ada banyak perbedaan pendapat, di mana masing-masing juga mendasarkan kepada ijtihad.


Sangat aneh ketika seorang muslim menggunjingkan saudaranya, memboikot, tidak mau bertegur sapa, bahkan sampai tidak mau menshalati jenazah saudaranya, hanya lantaran saudaranya itu ikut zikir berjamaah dan membaca doa qunut pada shalat shubuh.


Menggunjing itu dosa besar, bahkan di dalam Al-Quran disamakan dengan memakan daging saudaranya sendiri. Mengapa untuk menyikapi orang yang berbeda pendapat tentang masalah khilafiyah, harus dengan cara melakukan dosa besar? Apakah zikir berjamaah itu sudah dijadikan ijma' ulama dan hukumnya dosa besar? Sehingga dosa besar itu harus dihilangkan dengan cara melakukan dosa besar juga?


Tindakan tidak menshalati jenazah seorang muslim, hanya lantaran dia membaca doa qunut pada shalat shubuh, tentu tindakan yang benar-benar kurang bisa dimengerti. Apakah kita akan menuduhnya sebagai pelaku dosa besar karena dia mengikuti ijtihad imam Asy-Syafi'i yang menyunnahkan qunut? Apakah kita memperlakukannya sama dengan orang kafir, dengan cara tidak menshalati jenazahnya?


Jadi hindari paham ekstrim yang suka membid'ahkan menganggap sesat Muslim lainnya karena itu sangat berbahaya. Jika yang dituduh bid'ah/sesat itu ternyata lurus, maka kelompok itulah yang sesat dan masuk neraka.


Kadang ada orang yang begitu bangga dan merasa gagah jika berani mengkafirkan atau menuduh sesat sesama Muslim. Dia tidak sadar akan bahaya mengkafirkan atau menganggap sesat sesama Muslim yang bisa mengakibatkan dirinya sendiri kafir/sesat dan masuk neraka.


Tiga perkara berasal dari iman: (1) Tidak mengkafirkan orang yang mengucapkan “Laailaaha illallah” karena suatu dosa yang dilakukannya atau mengeluarkannya dari Islam karena sesuatu perbuatan; (2) Jihad akan terus berlangsung semenjak Allah mengutusku sampai pada saat yang terakhir dari umat ini memerangi Dajjal tidak dapat dirubah oleh kezaliman seorang zalim atau keadilan seorang yang adil; (3) Beriman kepada takdir-takdir. (HR. Abu Dawud)


Jangan mengkafirkan orang yang shalat karena perbuatan dosanya meskipun (pada kenyataannya) mereka melakukan dosa besar. Shalatlah di belakang tiap imam dan berjihadlah bersama tiap penguasa. (HR. Ath-Thabrani)


Di saat Usamah, sahabat Rasulullah saw, membunuh orang yang sedang mengucapkan, “Laa ilaaha illallaah, ” Nabi menyalahkannya dengan sabdanya, “Engkau bunuh dia, setelah dia mengucapkan Laa ilaaha illallaah.” Usamah lalu berkata, “Dia mengucapkan Laa ilaaha illallaah karena takut mati.” Kemudian Rasulullah saw. bersabda, “Apakah kamu mengetahui isi hatinya?” [HR Bukhari dan Muslim]


“Yaitu orang-orang yang memecah-belah agama mereka dan mereka menjadi beberapa golongan. Tiap-tiap golongan merasa bangga dengan apa yang ada pada golongan mereka.” [Ar Ruum:32]


“Sesungguhnya orang-orang yang memecah belah agama-Nya dan mereka menjadi bergolongan, tidak ada sedikitpun tanggung jawabmu kepada mereka. Sesungguhnya urusan mereka hanyalah terserah kepada Allah, kemudian Allah akan memberitahukan kepada mereka apa yang telah mereka perbuat.” [Al An’aam:159]


“Apabila seseorang mengatakan kepada saudaranya: Wahai orang kafir, maka perkataan itu akan menimpa salah satu dari keduanya.” [HR Bukhari]


“Siapa saja seseorang yang mengatakan kepada saudaranya, “hei kafir” maka julukan itu akan kembali kepada salah seorang dari keduanya. Jika orang yang dituduh itu benar, maka sesuai dengan apa  yang dituduhkan, tapi jika tidak, maka tuduhan itu akan kembali kepada yang melemparkannya.” (HR. Muslim).


“Tidaklah seseorang menuduh orang lain dengan kefasikan atau kekafiran, kecuali akan kembali kepada si penuduh jika orang yang dijuluki itu tidak demikian keadaannya.” (HR. Bukhori)


Sesatnya Khawarij atau sekarang Islam Jama'ah bukan karena aqidah atau amal ibadah mereka sesat atau penuh bid'ah. Tapi karena sikap mereka yang mengkafirkan atau menganggap sesat sesama Muslim. Jadi hindarkanlah perilaku Khawarij.


Jangan terlalu gampang memvonis sesuatu hal yang baru sebagai Bid'ah. Sebaiknya pelajari sejarah dan hadits dulu sebelum begitu.


1. Zaman Nabi shalat Tarawih sendiri2. Zaman Umar jadi Khalifah, Umar mengumpulkan para sahabat untuk tarawih bersama di masjid. Itu adalah bid’ah hasanah kata Umar ra yg diaminkan para sahabat. Dan kualitas KeIslaman Umar ra beserta sahabat jauh di atas para syaikh yang ada sekarang.

2. Zaman Nabi Al Qur’an tidak berbentuk 1 kitab seperti sekarang. Namun pada
zaman Khalifah Abu Bakar, Umar mengusulkan agar Al Qur’an dibukukan sehingga tidak tercerai-berai dan akhirnya dilupakan mengingat banyak Hafidz Qur’an yang terbunuh saat perang. Khalifah Abu Bakar ragu takut itu bid’ah. Namun desakan Umar dan juga persetujuan sahabat lainnya, akhirnya Al Qur’an dibukukan. Apakah ini bid’ah? Apakah ini sesat dan masuk neraka? Tidak bukan?
Banyak orang tidak paham bid’ah sehingga hal2 yg sebetulnya tidak bid’ah, dimasukkan sebagai bid’ah dan masuk neraka. Padahal mengkafirkan orang itu dosa.

3. Kitab Hadits zaman Nabi tidak ada. Bahkan Nabi melarang sahabat untuk menulis Hadits karena dikhawatirkan tercampur dengan Al Qur’an. Namun para ulama dan ahli Hadits akhirnya membukukan Hadits dari Imam Malik dgn Al Muwaththo, hingga Imam Bukhari, Imam Muslim, dsb. Ini juga bukan bid’ah yang masuk neraka.

4. Bilal juga pernah menambah ash sholatu khoirun minan nawm pada adzan Subuh. Nabi tidak menganggap itu bid’ah.

5. Nabi Muhammad tidak pernah bersyair di Masjid, namun penyair Hasan bin Tsabit melakukannya. Nabi membolehkannya.

6. Nabi Muhammad tidak pernah bermain tombak di masjid. Namun orang-orang Habsyi melakukannya. Saat Umar ingin menimpuk orang-orang Habsyi, Nabi melarangnya. Justru Nabi menontonnya.

7. Usman mengadakan tambahan Azan ke 2 dan ke3 pada Sholat Jum'at:

Saib bin Yazid berkata, "Adalah azan pada hari Jumat, permulaannya adalah apabila imam duduk di atas mimbar, yakni pada masa Rasulullah, Abu Bakar, dan Umar. Pada masa Utsman dan orang-orang (dalam satu riwayat: penduduk Madinah) sudah banyak, ia menambahkan (dalam satu riwayat memerintahkan 1/220) azan yang ketiga[20] (dalam satu riwayat: kedua) lalu dilakukanlah azan itu di Zaura'. (Maka, menjadi ketetapanlah hal itu 1/220). Nabi tidak mempunyai muadzin kecuali satu orang. Azan Jumat itu dilakukan ketika imam duduk di atas mimbar." [HR Bukhari]

Dsb.

Referensi:


http://www.ustsarwat.com/search.php?id=1174639079

10 komentar:

  1. Terima kasih, semoga ummat islam tidak mudah mem-bid'ah kan saudaranya, apalagi sampai memvonis masuk neraka,.
    agar ummat juga semakin cerdas dan bijak,.
    Semoga Allah SWT terus melimpahkan hidayah, membimbing dan melindungi kita semua umat islam, tidak mudah terpecah belah,.

    BalasHapus
  2. saya lupa apakah di Masjidil Haram saat shalat shubun imam membaca qunut atau tidak...tapi untuk dzkir berjamaan yang dimaksud, selama disana saya tidak pernah melihatnya

    BalasHapus
  3. Dzikir berjama'ah itu memang bukan wajib.
    Tapi bukan pula bid'ah karena itu memang pernah dilakukan oleh Nabi dan para sahabat serta tidak ada larangannya:
    Dari Ibnu ’Abbas Ra. berkata: “bahwasanya dzikir dengan suara keras setelah selesai shalat wajib adalah biasa pada masa Rasulullah SAW”. Kata Ibnu ’Abbas, “Aku segera tahu bahwa mereka telah selesai shalat, kalau suara mereka membaca dzikir telah kedengaran”.[Lihat Shahih Muslim I, Bab Shalat. Hal senada juga diungkapkan oleh al Bukhari (lihat: Shahih al Bukhari hal: 109, Juz I)]

    BalasHapus
  4. detail sekali penjelasan saudara
    terima kasih

    BalasHapus
  5. Assalamu'alaikum Wr.Wb,
    Mohon keterangan, bagaimana hukumnya membaca do'a-do'a Tahlil dan biasanya dilaksanakan di masyarakat Indonesia setelah ada anggota keluarga/masyarakat yang meninggal dunia..apakah ini ada dasarnya/dalilnya? bagaimana ulama masa lalu menjadikan hal ini "boleh" dilakukan? Jazakallohu Khaoron katsiiroo..

    BalasHapus
  6. mudah-mudahan kebenaran islam yang haq senantiasa terpancar, amin. Benar sekali seorang muslim bagi muslim lainnya adalah saudara, sebagaimana bangunan yang saling menguatkan. Ya Alloh tolonglah orang yang menolong agamamu ini, amin.

    BalasHapus
  7. asik nuduh amalan orang bidah, padahal dia sendiri shalatnya aja belum benar. cuma ngaji tamat iqrak 6 aja berani bicara bidah, dasar manusia tolol.

    BalasHapus
  8. Terima kasih atas tulisannya, semoga Allah SWT meridhoi penjelasan ini.

    BalasHapus
  9. Penjelasan di atas sangat bagus dan bermanfaat

    BalasHapus
  10. betul sdraku yang selalu membiddahkan semoga mendapat petunjuk dari Allah SWT ...Amiiin

    BalasHapus