Iklan 2

Minggu, 10 Mei 2015

Debat Syekh Al Buthi vs Albani


Inilah sebab kenapa murid2 Syekh Albani dendam kepada Syekh Al Buthi yang pernah mengalahkan Albani debat. Albani yg jadi tukang servis jam hingga umur 20 tahun kemudian jadi "Ahli Hadits" setelah membaca berbagai buku di perpustakaan (tanpa guru) tidak berdaya menjawab pertanyaan Syekh Al Buthi. Jawabannya berbeda2 setelah Syekh Al Buthi memaparkan argumen2 dan perumpamaan. Syekh Al Buthi kemudian syahid dibom saat mengajar di Masjid oleh Wahabi.

Belajar mazhab Syafi'ie secara tuntas saja sulit. Apalagi jika harus belajar 4 mazhab hingga selesai dan membandingkannya dgn Al Qur'an dan Hadits mana yang paling benar. Berapa banyak sih dari kita yang sudah membaca Kitab Al 'Umm Imam Syafi'ie hingga tuntas? Berapa banyak yang sudah membaca semua Qoul Qodim dan Qoul Jadid Imam Syafi'ie? Berapa banyak yang sudah baca kitab2 dari seluruh Imam Mazhab hingga tuntas? Jadi pendapat Albani yang mewajibkan mempelajari 4 mazhab kemudian memilih mana yang paling benar itu tidak logis.


Habib Rizieq menjelaskan, para ulama pun jika disuruh memilih mana yang paling afdhol pasti akan beda2. Sebagian memilih Mazhab Syafi'ie, sebagian Maliki, sebagian Hambali, dsb. Hingga saat ini belum ada 1 Mazhab baru hasil kompilasi manusia akhir zaman ini:

Dialog Panjang Syeikh Sa’id Ramadhan Al-Buthi & Syeikh Al-Albani
Sabtu 11 Jamadilawal 1434 / 23 Maret 2013 13:23


Laporkan iklan ?
al buthi-al albani ADA sebuah perdebatan yang menarik tentang ijtihad dan taqlid, antara Syaikh Muhammad Sa’id Ramadhan al-Buthi, seorang ulama Ahlussunnah wal Jama’ah di Syria, bersama Syaikh Muhammad Nashiruddin al-Albani, seorang tokoh Wahhabi dari Yordania.


Laporkan iklan?
Syaikh al-Buthi bertanya: “Bagaimana cara Anda memahami hukum-hukum Allah, apakah Anda mengambilnya secara langsung dari al-Qur’an dan Sunnah, atau melalui hasil ijtihad para imam-imam mujtahid?”

Al-Albani menjawab: “Aku membandingkan antara pendapat semua imam mujtahid serta dalil-dalil mereka lalu aku ambil yang paling dekat terhadap al-Qur’an dan Sunnah.”

Syaikh al-Buthi bertanya: “Seandainya Anda punya uang 5000 Lira. Uang itu Anda simpan selama enam bulan. Kemudian uang itu Anda belikan barang untuk diperdagangkan, maka sejak kapan barang itu Anda keluarkan zakatnya. Apakah setelah enam bulan berikutnya, atau menunggu setahun lagi?”

Al-Albani menjawab: “Maksud pertanyaannya, kamu menetapkan bahwa harta dagang itu ada zakatnya?”

Syaikh al-Buthi berkata: “Saya hanya bertanya. Yang saya inginkan, Anda menjawab dengan cara Anda sendiri. Di sini kami sediakan kitab-kitab tafsir, hadits dan fiqih, silahkan Anda telaah.”

Al-Albani menjawab: “Hai saudaraku, ini masalah agama. Bukan persoalan mudah yang bisa dijawab dengan seenaknya. Kami masih perlu mengkaji dan meneliti. Kami datang ke sini untuk membahas masalah lain”.

Mendengar jawaban tersebut, Syaikh al-Buthi beralih pada pertanyaan lain: “Baik kalau memang begitu. Sekarang saya bertanya, apakah setiap Muslim harus atau wajib membandingkan dan meneliti dalil-dalil para imam mujtahid, kemudian mengambil pendapat yang paling sesuai dengan al-Qur’an dan Sunnah?”

Al-Albani menjawab: “Ya.”

Syaikh al-Buthi bertanya: “Maksud jawaban Anda, semua orang memiliki kemampuan berijtihad seperti yang dimiliki oleh para imam madzhab? Bahkan kemampuan semua orang lebih sempurna dan melebihi kemampuan ijtihad para imam madzhab. Karena secara logika, seseorang yang mampu menghakimi pendapat-pendapat para imam madzhab dengan barometer al-Qur’an dan Sunnah, jelas ia lebih alim dari mereka.”

Al-Albani menjawab: “Sebenarnya manusia itu terbagi menjadi tiga, yaitu muqallid (orang yang taklid), muttabi’ (orang yang mengikuti) dan mujtahid. Orang yang mampu membandingkan madzhab-madzhab yang ada dan memilih yang lebih dekat pada al-Qur’an adalah muttabi’. Jadi muttabi’ itu derajat tengah, antara taklid dan ijtihad.”

Syaikh al-Buthi bertanya: “Apa kewajiban muqallid?”

Al-Albani menjawab: “Ia wajib mengikuti para mujtahid yang bisa diikutinya.”

Syaikh al-Buthi bertanya: “Apakah ia berdosa kalau seumpama mengikuti seorang mujtahid saja dan tidak pernah berpindah ke mujtahid lain?”

Al-Albani menjawab: “Ya, ia berdosa dan haram hukumnya.”

Syaikh al-Buthi bertanya: “Apa dalil yang mengharamkannya?”

Al-Albani menjawab: “Dalilnya, ia mewajibkan pada dirinya, sesuatu yang tidak diwajibkan Allah padanya.”

Syaikh al-Buthi bertanya: “Dalam membaca al-Qur’an, Anda mengikuti qira’ahnya siapa di antara qira’ah yang tujuh?”

Al-Albani menjawab: “Qira’ah Hafsh.”

Al-Buthi bertanya: “Apakah Anda hanya mengikuti qira’ah Hafsh saja? Atau setiap hari, Anda mengikuti qira’ah yang berbeda-beda?”

Al-Albani menjawab: “Tidak. Saya hanya mengikuti qira’ah Hafsh saja.”

Syaikh al-Buthi bertanya: “Mengapa Anda hanya mengikuti qira’ah Hafsh saja, padahal Allah subhanahu wata’ala tidak mewajibkan Anda mengikuti qira’ah Hafsh. Kewajiban Anda justru membaca al-Qur’an sesuai riwayat yang dating dari Nabi Saw. secara mutawatir.”

Al-Albani menjawab: “Saya tidak sempat mempelajari qira’ah-qira’ah yang lain. Saya kesulitan membaca al-Qur’an dengan selain qira’ah Hafsh.”

Syaikh al-Buthi berkata: “Orang yang mempelajari fiqih madzhab asy-Syafi’i, juga tidak sempat mempelajari madzhab-madzhab yang lain. Ia juga tidak mudah memahami hukum-hukum agamanya kecuali mempelajari fiqihnya Imam asy-Syafi’i. Apabila Anda mengharuskannya mengetahui semua ijtihad para imam, maka Anda sendiri harus pula mempelajari semua qira’ah, sehingga Anda membaca al-Qur’an dengan semua qira’ah itu. Kalau Anda beralasan tidak mampu melakukannya, maka Anda harus menerima alasan ketidakmampuan muqallid dalam masalah ini. Bagaimanapun, kami sekarang bertanya kepada Anda, dari mana Anda berpendapat bahwa seorang muqallid harus berpindah-pindah dari satu madzhab ke madzhab lain, padahal Allah tidak mewajibkannya. Maksudnya sebagaimana ia tidak wajib menetap pada satu madzhab saja, ia juga tidak wajib berpindah-pindah terus dari satu madzhab ke madzhab lain?”

Al-Albani menjawab: “Sebenarnya yang diharamkan bagi muqallid itu menetapi satu madzhab dengan keyakinan bahwa Allah memerintahkan demikian.”

Syaikh al-Buthi berkata: “Jawaban Anda ini persoalan lain. Dan memang benar demikian. Akan tetapi, pertanyaan saya, apakah seorang muqallid itu berdosa jika menetapi satu mujtahid saja, padahal ia tahu bahwa Allah tidak mewajibkan demikian?”

Al-Albani menjawab: “Tidak berdosa.”

Syaikh al-Buthi berkata: “Tetapi isi buku yang Anda ajarkan, berbeda dengan yang Anda katakan. Dalam buku tersebut disebutkan, menetapi satu madzhab saja itu hukumnya haram. Bahkan dalam bagian lain buku tersebut, orang yang menetapi satu madzhab saja itu dihukumi kafir.”

Menjawab pertanyaan tersebut, al-Albani kebingungan menjawabnya.

Demikianlah dialog panjang antara Syaikh al-Buthi dengan al-Albani, yang didokumentasikan dalam kitab beliau al-Lamadzhabiyyah Akhthar Bid’ah Tuhaddid asy-Syari’at al-Islamiyyah. Tentu saja mengikuti madzhab para ulama salaf, lebih menenteramkan bagi kaum Muslimin. Keilmuan, ketulusan dan keshalehan ulama salaf jelas diyakini melebihi orang-orang sesudah mereka. [pustakamuhibbin]
https://www.islampos.com/dialog-panjang-syeikh-said-ramadhan-al-buthi-syeikh-al-albani-49256/

Orang tanpa guru menterjemahkan Al Qur'an dan Hadits secara kaku, Allah punya wajah, 2 tangan yang semuanya kanan, ada jarinya, punya kaki, telapak kaki, betis, dsb. Jadi mirip Tuhan Bapa ya? Dari website Wahabi. Padahal Tangan Allah terbelenggu itu kiasan yg artinya kikir sedang tangan terbuka itu artinya tidak kikir. Namun surat Al Maa-idah 64 itu diterjemahkan apa adanya oleh Wahabi. Jadinya Allah bisa seperti yg di foto ini.... “Dan bahwasannya Allah mempunyai dua tangan dengan dalil firman-Nya : “Tetapi kedua tangan Allah itu terbuka” (QS. Al-Maaidah : 64). Dia juga memiliki wajah dengan dalil firman Allah : “Tiap-tiap sesuatu pasti binasa kecuali (wajah) Allah” (QS. Al-Qashaash : 88) dan juga firman-Nya : “Dan tetap kekal wajah Rabbmu yang mempunyai kebesaran dan kemuliaan” (QS. Ar-Rahmaan : 27). Dia juga mempunyai kaki dengan dalil sabda Nabi shallallaahu ‘alaihi wasallam : “Hingga Rabb (Allah) ‘azza wa jalla meletakkan kaki-Nya padanya…” (HR. Bukhari dan Muslim) yaitu pada neraka” [13] 
https://syaikhulislam.wordpress.com/2010/07/02/506/

Beda dgn Sifat 20 yang menekankan sifat Allah itu Wujud/Ada, Qidam/Awal, Hayat/Hidup, Wahdaniyah / Esa, Baqo/Kekal dsb.

Wahabi justru mengajarkan Allah punya wajah, kaki, tangan, betis, dsb. Mujassimah.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar