Demi kursi Presiden, Qaddafi difatwa mati dan 30 ribu Muslim Libya Tewas. Semua pendukung Assad termasuk Ulama difatwa mati juga oleh Qaradhawi dan 100 ribu orang tewas termasuk 40 ribu tentara Suriah. 90% Muslim.
Sesungguhnya fatwa Dr. Yusuf Al-Qardhawi hanyalah potret pendapat orang-orang yang dia dukung. Kebanyakan dari mereka dari dulu dan sampai sekarang tetap memerangi manusia demi kekuasaan dan politik atas nama agama. Imam Syahrastani pernah berkata: “Dalam sejarah intern umat Islam, terhunusnya pedang tidak ada yang lebih dahsyat dibandingkan dengan terhunusnya pedang dalam perkara imamah (kekuasaan) di setiap zaman.”
http://kabarislam.wordpress.com/2013/04/05/fatwa-yusuf-qaradhawi-bunuh-semua-pendukung-assad-termasuk-ulama/
Inilah Tanggapan Al-Azhar terhadap Fatwa DR. Yusuf Al-Qardhawi
Mosleminfo, Kairo — Pasca Presiden Mesir Muhammad Morsi dilengserkan oleh jutaan rakyat Mesir yang turun ke jalan, Ketua Asosiasi Ulama sedunia, Prof. Dr. Yusuf Al-Qardhawi mengeluarkan fatwa yang berisi tentang kewajiban seluruh rakyat Mesir untuk mendukung presiden terpilih Dr. Muhammad Morsi. Al-Azhar sebagai institusi keagamaan panutan di Mesir merasa perlu untuk merespon fatwa yang dirasa kurang tepat tersebut. Pusat Informasi Al-Azhar merilis tanggapan resmi Al-Azhar demi meluruskan kandungan fatwa Al-Qardhawi tersebut. Tim redaksi Mosleminfoberhasil mengalihbahasakannya sebagai berikut:
===========================
Insan akademik secara umum yang telah membaca fatwa yang mulia Dr. Yusuf Al-Qardhawi, tidak akan merasa kesulitan untuk mengetahui bahwa di dalam fatwa tersebut terdapat vonis hukum yang sangat radikal dan terlalu berlebihan dalam menilai. Dia menganggap bahwa keluarnya jutaan rakyat Mesir pada 30 Juni yang tak ada tandingannya dalam sejarah Mesir itu sebagai kudeta militer. Dia menuduh bahwa pada kudeta tersebut Jenderal Abdel Fatah As-Sisi memanfaatkan beberapa tokoh yang tidak mewakili rakyat Mesir. Dia menyebutkan, diantaranya adalah Yang Mulia Grand Shaikh Al-Azhar Prof. Dr. Ahmad At-Tayyeb. Oleh karenanya, kami hanya dapat menjelaskan fakta-fakta berikut:
Pertama: Grand Shaikh Al-Azhar tidak mungkin untuk tidak menghadiri undangan yang ditujukan kepada seluruh elemen bangsa, tokoh politik, dan tokoh agama, bahkan termasuk Partai Kebebasan dan Keadilan (sayap politik Ikhwanul Muslimin, red), dalam sebuah momen bersejarah yang sangat menentukan, dan dalam sikap kebangsaan yang dimana tidak menghadirinya adalah suatu pengkhianatan atas kewajiban, karena sudah merupakan tanggung jawab. Hal tersebut demi memenuhi panggilan suara rakyat yang diekspresikan dengan demonstrasi damai, yang tidak berbeda sedikit pun dengan demonstrasi 25 Januari.
Kedua: Sesungguhnya fatwa Dr. Yusuf Al-Qardhawi hanyalah potret pendapat orang-orang yang dia dukung. Kebanyakan dari mereka dari dulu dan sampai sekarang tetap memerangi manusia demi kekuasaan dan politik atas nama agama. Imam Syahrastani pernah berkata: “Dalam sejarah intern umat Islam, terhunusnya pedang tidak ada yang lebih dahsyat dibandingkan dengan terhunusnya pedang dalam perkara imamah (kekuasaan) di setiap zaman.”
Kedudukan Grand Shaikh terlalu mulia untuk hanya sekedar memberikan dukungan kepada satu kelompok dan memusuhi kelompok yang lain. Semua telah mengetahui akan usaha dan kesungguhan beliau untuk mencegah agar tidak sampai kepada kondisi kritis ini. Beliau sudah senantiasa memperingatkan akan hal itu, namun tidak satu pun yang memperhatikannya. Kondisi saat ini harus ditanyakan kepada setiap orang dari mereka yang membawa negeri ini ke jurang kehancuran. Bagi yang tidak mengetahui pernyataan-pernyataan Al-Azhar terbaru yang dirilis pada kondisi ini, hendaknya melihat dan membacanya kembali agar dia mengetahui dan paham. Utamanya terkait upaya dan sikap yang hanya diketahui oleh Allah dan tokoh-tokoh umat yang melaksanakan upaya-upaya tersebut.
Ketiga: Sesungguhnya sikap Grand Shaikh senantiasa bersumber dari sikap kebangsaan Al-Azhar yang konstan yang termasuk dari “maqashid syari’ah” (tujuan-tujuan syariat). Sikap beliau itu juga didasarkan pada pengetahuan beliau yang dalam dan teliti atas nas-nas syariat dengan mengimplementasikannya ke dalam realitas kehidupan, bukan justru memakzulkannya dari realitas. Itu beliau lakukan dengan tetap menjaga perkara-perkara yang konstan dalam agama (tsawabit) dan kaedah-kaedah syariat. Maka, seseorang bisa dikatakan ‘arif (mengetahui), jika dia mengetahui kondisi zamannya, dan seseorang tidak dikatakan ‘arif, jika dia hanya bisa membedakan antara yang baik dan buruk. Akan tetapi, seorang ‘arif itu adalah orang yang mampu membedakan yang buruk dari dua kebaikan, dan yang baik dari dua keburukan.
Keempat: Sesungguhnya apa yang termaktub dalam fatwa Al-Qardhawi, berupa kata-kata, ungkapan, isyarat, dan celaan, semua itu tidak akan muncul, kecuali hanya untuk menebar fitnah, dan menyakiti hati umat dan para tokohnya. Maka, Al-Azhar tidak akan pernah membalas atau mengomentari hal-hal hina seperti itu. “Katakanlah: “Tiap-tiap orang berbuat menurut keadaannya masing-masing”. Maka Tuhanmu lebih mengetahui siapa yang lebih benar jalannya.” [Qs. Al-Isra’ :84]
Redaktur: Fuady
Sumber: onazhar
Tidak ada komentar:
Posting Komentar