Iklan 2

Minggu, 13 Januari 2013

Perdebatan di Mana Allah: Di Atas Langit atau Tak Perlu Tempat?

 

Sholeh Punya:

MEMBONGKAR TIPU DAYA WAHABI SALAFI YANG MENGATAKAN “ ALLAH BERADA DIATAS LANGIT “

Subhanallah . . Anda Lihat? Wahabi Salafi Benar-banar Pengacau, Penyesat Umat, Menulis "Empat Imam Madzab Sepakat Bahwa Allah Berada Di Atas Langit " Dan “ Memanipulasi Aqidah Yang disandarkan kepada Imam Abu Hanifah “ .

Lihat Tuduhan keji wahabi Salafi penyesat Umat :

http://m.facebook.com/photo.php?fbid=493488897351763&id=493238314043488&set=a.493272530706733.117859.493238314043488&refid=46&_ft_=src.13%3Asty.263%3Aactrs.100001592335500%3Apub_time.1353264691%3Afbid.276116242511560%3As_obj.5%3As_edge.1%3As_prnt.7%3Aft_story_name.StreamStoryCreateGeneric_ShareStreamContent_Internal_Photo%3Aorigin_content.493238314043488%2C493488897351763%3Atracking_info.0%2C0%2C0%2C0%2C0%2C32

Berikut ini akan saya sampaikan Sabda Rasulullah sallallahu`alaihi wasallam. Serta para sahabatnya dan para ulama dari I mam empat madzhab, serta ulama lainya dari kalangan Ahlussunnah dalam penjelasan kesucian Allah dari menyerupai makhluk-Nya dan penjelasan bahwa Allah ada tanpa tempat dan tanpa arah. Kutipan berikut ini hanya sebagian kecil saja, karena bila kita hendak mengutip seluruh perkataan mereka maka akan membutuhkan kepada ratusan lebar halaman. Namun setidaknya berikut ini sebagai bukti untuk memperkuat akidah kita, sekaligus sebagai bantahan terhadap keyakinan-keyakinan yang menyalahinya.

A . AQIDAH RASULULLAH SALLALLAHU`ALAIHI WASALLAM:

Sabda Rasulullah sallallahu`alaihi wasallam :

يَقُوْلُ النَّبِيْ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: ((لَا فِكْرَةَ فِي الرَّبِّ)). رَوَاهُ أَبُو الْقَاسِمِ الْأَنْصَارِيْ.

Nabi sallallahu`alaihi wasallam bersabda: ((Tuhan tidak boleh difikirkan/digambarkan)).

Diriwayatkan oleh Abu al-Qasim al-Ansari.

أَنَّ مَعْرِفَةُ الله لَا تُطْلَبُ بِالتَّصَوُّرِ وَلَا بِالتَّوَهُّمِ لِأَنَّ حُكْمُ الْوَهْمِ يُؤَدِّيْ إِلَى الْغَلَطِ.
" Bahawasanya mengenal/mengetahui tentang Allah, tidak dituntut/disuruh dengan cara menggambarkan atau membayangkan (dalam fikiran) kerana hukum yang terhasil daripada waham [gambaran/sangkaan] membawa kepada kesalahan".

Rasulullah sallallahu`alaihi wasallam juga bersabda:

"كَـانَ اللهُ وَلَـمْ يَكُـنْ شَيْءٌ غَـيْرُهُ".

“Allah wujud pada azali [kewujudan-Nya tidak ada permulaan] sedangkan sesuatupun masih belum wujud”. (Diriwayatkan oleh al-Bukhari, al-Bayhaqi dan Ibn Jarud)

Al-Hafiz Ibn al-Hajar al-`Asqalani (W. 852 H) telah menghuraikan hadis di atas di dalam kitabnya Fath al-Bari dengan katanya :

"وَالْمُرَادُ بِكَانَ فِي الْأَوَّلِ الْأَزَلـِـيَّةُ وَفِي الثَّانِـي الْـحُدُوْثُ بَعْدَ الْعَدَمِ" اهـــ.

“Dan maksud كان)) dalam lafaz yang pertama ialah keazalian [kewujudan tanpa didahului oleh ketiadaan atau kewujudan tanpa permulaan] dan dalam lafaz (كان) kedua ialah kebaharuan selepas ketiadaan [kewujudan yang didahului oleh ketiadaan atau kewujudan yang ada permulaan]”.

Al-Hafiz Abu Bakr Ahmad Ibn al-Husayn al-Bayhaqi (W. 458 H) juga mensyarahkan hadis tersebut di dalam kitabnya al-I`tiqad ketika menjelaskan makna hadith ini dengan berkata:

"يَدُلُّ عَلَى أَنَّهُ لَـمْ يَكُنْ شَيْءٌ غَيْرُهُ لَا الْمَاءَ وَلَا الْعَرْشَ وَلَا غَيْرَهُـمَا وَكُلُّ ذَلِكَ أَغْيَارٌ" اهــــ.

"[Hadis ini] Menunjukkan bahawa Allah ta`ala sudah wujud walaupun selain-Nya belum ada, air tidak ada, `Arasy tidak ada dan selain kedua-dua benda itu dan semua itu adalah bukan Allah ta`ala."

Rasulullah sallallahu`alaihi wasallam juga bersabda:

"اللَّهُمَّ أَنْتَ الْأَوَّلُ فَلَيْسَ قَبْلَكَ شَيْءٌ، وَأَنْتَ الآخِرُ فَلَيْسَ بَعْدَكَ شَيْءٌ، وَأَنْتَ الظَّاهِرُ فَلَيْسَ فَوْقَكَ شَيْءٌ، وَأَنْتَ الْبَاطِنُ فَلَيْسَ دُوْنَكَ شَيْءٌ".

“Ya Allah! Engkau al-Awwal maka tiada suatupun sebelum-Mu, Engkau al-Akhir maka tiada suatupun selepas-Mu, Engkau al-Zahir maka tiada suatupun di atas-Mu, dan Engkau al-Batin maka tiada suatupun di bawah-Mu”. (Diriwayatkan oleh al-Imam Muslim)

B . AQIDAH PARA SAHABAT DAN TABI`EN:

1 . Sayyiduna Abu Bakar al-Siddiq radiyallahu`anhu (W. 13 H) berkata :

"الْعَجْزُ عَنْ دَرَكِ الْإِدْرَاكِ إِدْرَاكٌ وَالْبَحْثُ عَنْ ذَاتِهِ كُفْرٌ وَإِشْرَاكُ".

"Pengakuan bahawa pemahaman seseorang tidak mampu (lemah) untuk sampai megetahui hakikat Allah adalah keimanan, adapun mencari tahu tentang Allah, yakni membayangkan-Nya adalah kekufuran".

2. Sayyidina ‘Ali ibn Abi Thalib (w 40 H) berkata:

كَانَ اللهُ وَلاَ مَكَان وَهُوَ الآنَ عَلَى مَا عَليْه كَانَ

“Allah ada tanpa permulaan dan tanpa tempat, dan Dia Allah sekarang -setelah menciptakan tempat- tetap sebagaimana pada sifat-Nya yang azali; ada tanpa tempat” (Diriwayatkan oleh al-Imam Abu Manshur al-Baghdadi dalam al-Farq Bain al-Firaq, h. 333).

Beliau juga berkata:

إنّ اللهَ خَلَقَ العَرْشَ إْظهَارًا لِقُدْرَتهِ وَلَمْ يَتّخِذْهُ مَكَانًا لِذَاتِهِ

“Sesungguhnya Allah menciptakan ‘arsy (makhluk Allah yang paling besar bentuknya) untuk menampakan kekuasaan-Nya, bukan untuk menjadikan tempat bagi Dzat-Nya” (Diriwayatkan oleh al-Imam Abu Manshur al-Baghdadi dalam al-Farq Bain al-Firaq, h. 333).

3 . Ibn `Abbas radiyallahu`anhuma telah berkata:

"تَفَكَّرُوْا فِيْ خَلْقِ اللهِ وَلَا تَفَكَّرُوْا فِيْ ذَاتِ اللهِ".

"Hendaklah kalian berfikir tentang makhluk ciptaan Allah, namun jangan kalian fikirkan tentang zat Allah". Diriwayatkan oleh al-Imam al-Baihaqi di dalam kitabnya al-Asma’ wa al-Sifat

4. Seorang tabi’in yang agung, al-Al-Imam as-Sajjad Zain al-‘Abidin ‘Ali ibn al-Husain ibn ‘Ali ibn Abi Thalib (w 94 H) berkata:

أنْتَ اللهُ الّذِي لاَ يَحْويْكَ مَكَانٌ

“Engkau wahai Allah yang tidak diliputi oleh tempat” (Diriwayatkan oleh al-Imam Murtadla az-Zabidi dalam Ithaf as-Sadah al-Muttaqin Bi Syarh Ihya’ ‘Ulumiddin, j. 4, h. 380).

Juga berkata:

أنْتَ اللهُ الّذِي لاَ تُحَدُّ فَتَكُوْنَ مَحْدُوْدًا

“Engkau wahai Allah yang maha suci dari segala bentuk dan ukuran” (Diriwayatkan oleh al-Imam Murtadla az-Zabidi dalam Ithaf as-Sadah al-Muttaqin Bi Syarh Ihya’ ‘Ulumiddin, j. 4, h. 380).

5. al-Al-Imam Ja’far as-Shadiq ibn Muhammad al-Baqir ibn ibn Zainal ‘Abidin ‘Ali ibn al-Husain (w 148 H) berkata:

مَنْ زَعَمَ أنّ اللهَ فِي شَىءٍ أوْ مِنْ شَىءٍ أوْ عَلَى شَىءٍ فَقَدْ أشْرَكَ، إذْ لَوْ كَانَ عَلَى شَىءٍ لَكَانَ مَحْمُوْلاً وَلَوْ كَانَ فِي شَىءٍ لَكَانَ مَحْصُوْرًا وَلَوْ كَانَ مِنْ شَىءٍ لَكَانَ مُحْدَثًا (أىْ مَخْلُوْقًا)

“Barang siapa berkeyakinan bahwa Allah berada di dalam sesuatu, atau dari sesuatu, atau di atas sesuatu maka ia adalah seorang yang musyrik. Karena jika Allah berada di atas sesuatu maka berarti Dia diangkat, dan bila berada di dalam sesuatu berarti Dia terbatas, dan bila Dia dari sesuatu maka berarti Dia baharu -makhluk-” (Diriwayatkan oleh al-Imam al-Qusyairi dalam ar-Risalah al-Qusyairiyyah, h. 6).

C . AQIDAH IMAM EMPAT MAZHAB

1 . al-Al-Imam al-Mujtahid Abu Hanifah an-Nu’man ibn Tsabit (w 150 H), salah seorang ulama salaf terkemuka, perintis madzhab Hanafi, berkata:

وَاللهُ تَعَالى يُرَى فِي الآخِرَة، وَيَرَاهُ الْمُؤْمِنُوْنَ وَهُمْ فِي الْجَنّةِ بِأعْيُنِ رُؤُوسِهِمْ بلاَ تَشْبِيْهٍ وَلاَ كَمِّيَّةٍ وَلاَ يَكُوْنُ بَيْنَهُ وَبَيْنَ خَلْقِهِ مَسَافَة.

“Allah ta’ala di akhirat kelak akan dilihat. Orang-orang mukmin akan melihat-Nya ketika mereka di surga dengan mata kepala mereka masing-masing dengan tanpa adanya keserupaan bagi-Nya, bukan sebagai bentuk yang berukuran, dan tidak ada jarak antara mereka dengan Allah (artinya bahwa Allah ada tanpa tempat, tidak di dalam atau di luar surga, tidak di atas, bawah, belakang, depan, samping kanan ataupun samping kiri)” (Lihat al-Fiqhul Akbar karya Imam Abu Hanifah dengan Syarahnya karya Mulla ‘Ali al-Qari, h. 136-137).

Juga berkata:
قُلْتُ: أرَأيْتَ لَوْ قِيْلَ أيْنَ اللهُ؟ يُقَالُ لَهُ: كَانَ اللهُ تَعَالَى وَلاَ مَكَانَ قَبْلَ أنْ يَخْلُقَ الْخَلْقَ، وَكَانَ اللهُ تَعَالَى وَلَمْ يَكُنْ أيْن وَلاَ خَلْقٌ وَلاَ شَىءٌ، وَهُوَ خَالِقُ كُلّ شَىءٍ.

“Aku katakan: Tahukah engkau jika ada orang berkata: Di manakah Allah? Jawab: Dia Allah ada tanpa permulaan dan tanpa tempat, Dia ada sebelum segala makhluk-Nya ada. Allah ada tanpa permulaan sebelum ada tempat, sebelum ada makhluk dan sebelum segala suatu apapun. Dan Dia adalah Pencipta segala sesuatu” (Lihat al-Fiqhul Absath karya Imam Abu Hanifah dalam kumpulan risalah-risalahnya dengan tahqiq Muhammad Zahid al-Kautsari, h. 20).

Juga berkata:
وَنُقِرّ بِأنّ اللهَ سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى عَلَى العَرْشِ اسْتَوَى مِنْ غَيْرِ أنْ يَكُوْنَ لَهُ حَاجَةٌ إليْهِ وَاسْتِقْرَارٌ عَلَيْهِ، وَهُوَ حَافِظُ العَرْشِ وَغَيْرِ العَرْشِ مِنْ غَبْرِ احْتِيَاجٍ، فَلَوْ كَانَ مُحْتَاجًا لَمَا قَدَرَ عَلَى إيْجَادِ العَالَمِ وَتَدْبِيْرِهِ كَالْمَخْلُوقِيْنَ، وَلَوْ كَانَ مُحْتَاجًا إلَى الجُلُوْسِ وَالقَرَارِ فَقَبْلَ خَلْقِ العَرْشِ أيْنَ كَانَ الله، تَعَالَى اللهُ عَنْ ذَلِكَ عُلُوّا كَبِيْرًا.

“Dan kita mengimani adanya ayat “ar-Rahman ‘Ala al-‘Arsy Istawa” -sebagaimana disebutkan dalam al-Qur’an- dengan menyakini bahwa Allah tidak membutuhkan kepada ‘‘arsy tersebut da tidak bertempat atau bersemayam di atasnya. Dia Allah yang memelihara ‘‘arsy dan lainnya tanpa membutuhkan kepada itu semua. Karena jika Allah membutuhkan kepada sesuatu maka Allah tidak akan kuasa untuk menciptakan dan mengatur alam ini, dan berarti Dia seperti seluruh makhluk-Nya sendiri. Jika membutuhkan kepada duduk dan bertempat, lantas sebelum menciptakan makhluk-Nya -termasuk ‘arsy- di manakah Dia? Allah maha suci dari itu semua dengan kesucian yang agung” (Lihat al-Washiyyah dalam kumpulan risalah-risalah Imam Abu Hanifah tahqiq Muhammad Zahid al-Kautsari, h. 2. juga dikutip oleh asy-Syekh Mullah ‘Ali al-Qari dalam Syarh al-Fiqhul Akbar, h. 70.).

Perkataan Imam Abu Hanifah ini adalah ungkapan yang sangat jelas dalam bantahan terhadap pendapat kaum Musyabbihah dan kaum Mujassimah, termasuk kelompok yang bernama Wahhabiyyah sekarang; mereka yang mengaku sebagai kelompok salafi. Kita katakan kepada mereka: Para ulama salaf telah sepakat mengatakan bahwa Allah ada tanpa tempat dan tanpa arah. Salah satunya adalah Imam Abu Hanifah yang merupakan salah seorang terkemuka di kalangan mereka. Beliau telah mendapatkan pelajaran dari para ulama tabi’in, dan para ulama tabi’in tersebut telah mengambil pelajaran dari para sahabat Rasulullah.

Adapun ungkapan Imam Abu Hanifah yang menyebutkan bahwa telah menjadi kafir seorang yang berkata “Aku tidak mengetahui Tuhanku, apakah ia di langit atau di bumi!?”, demikian pula beliau mengkafirkan orang yang berkata: “Allah di atas ‘arsy, dan aku tidak tahu arah ‘arsy, apakah ia di langit atau di bumi!?”, hal ini karena kedua ungkapan tersebut menetapkan adanya tempat dan arah bagi Allah. Karena itu Imam Abu Hanifah mengkafirkan orang yang mengatakan demikian. Karena setiap yang membutuhkan kepada tempat dan arah maka berarti ia adalah pastilah sesuatu yanga baharu. Maksud ungkapan Imam Abu Hanifah tersebut bukan seperti yang disalahpahami oleh orang-orang Musyabbihah bahwa Allah berada di atas langit atau di atas ‘arsy. Justru sebaliknya, maksud ungkapan beliau ialah bahwa Allah ada tanpa tempat dan tanpa arah, sebagaimana dalam ungkapan-ungkapan beliau sendiri yang telah kita tulis di atas.

Maksud dua ungkapan Imam Abu Hanifah di atas juga telah dijelaskan oleh Imam al-‘Izz ibn Abdissalam dalam kitabnya Hall ar-Rumuz. Beliau berkata:
“-Imam Abu Hanifah mengkafirkan orang mengatakan dua uangkapan tersebut- Karena dua ungkapan itu memberikan pemahaman bahwa Allah memiliki tempat. Dan siapa yang berkeyakinan bahwa Allah memiliki tempat maka ia adalah seorang Musyabbih (seorang kafir yang menyerupakan Allah dengan makhluk-Nya)” (Dikutip oleh Mulla ‘Ali al-Qari dalam Syarh al-Fiqh al Akbar, h. 198).

Pernyataan Imam al-‘Izz ibn ‘Abd as-Salam ini juga dikuatkan oleh as-Syekh Mulla ‘Ali al-Qari. Ia berkata:
“Tanpa diragukan lagi bahwa al-Izz ‘ibn ‘Abdissalam adalah orang yang paling paham terhadap maksud dari perkataan Imam Abu Hanifah tersebut. Karenanya kita wajib membenarkan apa yang telah beliau nyatakan” (Lihat Mulla ‘Ali al-Qari dalam Syarh al-Fiqhul Akbar, h. 198).

2 . Al-Imam al-Mujtahid Muhammad ibn Idris as-Syafi’i (w 204 H), perintis madzhab Syafi’i, dalam salah satu kitab karyanya, al-Kaukab al-Azhar Syarh al-Fiqh al-Akbar, menuliskan:
(فصل) وَاعْلَمُوْا أنّ اللهَ تَعَالَى لاَ مَكَانَ لَهُ، وَالدّلِيْلُ عَلَيْهِ هُوَ أنّ اللهَ تَعَالَى كَانَ وَلاَ مَكَانَ فَخَلَقَ الْمَكَانَ وَهُوَ عَلَى صِفَةِ الأزَلِيّةِ كَمَا كَانَ قَبْلَ خَلْقِهِ الْمَكَانَ لاَ يَجُوْزُ عَلَيْهِ التَّغَيُّرُ فِي ذَاتِهِِ وَلاَ التَّبَدُّلُ فِي صِفَاتِهِ، وَلأنّ مَنْ لَهُ مَكَانٌ فَلَهُ تَحْتٌ، وَمَنْ لَهُ تَحْتٌ يَكُوْنُ مُتَنَاهِي الذّاتِ مَحْدُوْدًا، وَالْمَحْدُوْدُ مَخْلُوْقٌ، تَعَالَى اللهُ عَنْ ذلِكَ عُلُوّا كَبِيْرًا، ولِهذَا الْمَعْنَى اسْتَحَالَ عَليْه الزّوْجَةُ وَالوَلدُ، لأنّ ذلِك لاَ يَتِمّ إلاّ بالْمُبَاشَرَةِ والاتّصَالِ والانْفِصَال.

“Ketahuilah bahwa Allah tidak bertempat. Argumentasi atas ini ialah bahwa Dia ada tanpa permulaan dan tanpa tempat. Maka setelah menciptakan tempat Dia tetap pada sifat-Nya yang azali sebelum Dia menciptakan tempat; yaitu ada tanpa temapt. Tidak boleh pada hak Allah adanya perubahan, baik perubahan pada Dzat-Nya maupun pad asifat-sifat-Nya. Karena sesuatu yang memiliki tempat maka ia pasti memiliki arah bawah. Dan bila demikian maka ia pasti memiliki bentuk tubuh dan batasan. Dan sesuatu yang memiliki batasan pasti sebagai makhluk, dan Allah maha suci dari pada itu semua. Karena itu mustahil pada haknya terdapat istri dan anak. Sebab hal semacam itu tidak akan terjadi kecuali dengan adanya sentuhan, menempel dan terpisah. Allah mustahil pada-Nya sifat terbagi-bagi dan terpisah-pisah. Tidak boleh dibayangkan dari Allah adanya sifat menempel dan berpisah. Oleh sebab itu adanya istilah suami, astri dan anak pada hak Allah adalah sesuatu yang mustahil” (Lihat al-Kaukab al-Azhar Syarh al-Fiqh al-Akbar, h. 13).

Pada bagian lain dalam kitab yang sama dalam pembahasan firman Allah QS. Thaha: 5, al-Imam as-Syafi’i menuliskan sebagai berikut:
فَإنْ قِيْل: أليْسَ قَدْ قَالَ اللهُ تَعَالَى (الرّحْمنُ عَلَى العَرْشِ اسْتَوَى)، يُقَال: إنّ هذِهِ الآيَة مِنَ الْمُتَشَابِهَاتِ، وَالّذِيْ نَخْتَارُ مِنَ الْجَوَابِ عَنْهَا وَعَنْ أمْثَالِهَا لِمَنْ لاَ يُرِيْدُ التّبَحُّر فِي العِلْمِ أنْ يُمِرَّ بِهَا كَمَا جَاءَتْ وَلاَ يَبْحَثُ عَنْهَا وَلاَ يَتَكَلّمُ فيْهَا لأنّهُ لاَ يَأمَنُ مِنَ الوُقُوْعِ فِي وَرَطَةِ التّشْبِيْهِ إذَا لَمْ يَكُنْ رَاسِخًا فِي العِلْمِ، وَيَجِبُ أنْ يَعْتَقِدَ فِي صِفَاتِ البَارِي تَعَالَى مَاذَكَرْنَاهُ، وَأنّهُ لاَ يَحْويْهِ مَكَانٌ وَلاَ يَجْرِي عَليْهِ زَمَانٌ، مُنَزَّهٌ عَنِ الحُدُوْدِ وَالنّهَايَاتِ، مُسْتَغْنٍ عَنِ الْمَكَانِ وَالْجِهَاتِ، وَيَتَخَلَّصُ مِن َالمَهَالِكِ وَالشُّبُهَاتِ.

“Jika dikatakan bukankah Allah telah berfirman: “ar-Rahman ‘Ala al-‘Arsy Istawa”? Jawab: Ayat ini termasuk ayat mutasyabihat. Sikap yang kita pilih tentang hal ini dan ayat-ayat yang semacam dengannya ialah bahwa bagi seorang yang tidak memiliki kompetensi dalam bidang ini agar supaya mngimaninya dan tidak secara mendetail membahasnya atau membicarakannya. Sebab seorang yang tidak memiliki kompetensi dalam hal ini ia tidak akan aman, ia akan jatuh dalam kesesatan tasybih. Kewajiban atas orang semacam ini, juga seluruh orang Islam, adalah meyakini bahwa Allah -seperti yang telah kita sebutkan di atas-, Dia tidak diliputi oleh tempat, tidak berlaku atas-Nya waktu dan zaman. Dia maha suci dari segala batasan atau bentuk dan segala penghabisan. Dia tidak membutuhkan kepada segala tempat dan arah. Dengan demikian orang ini menjadi selamat danri kehancuran dan kesesatan” (al-Kaukab al-Azhar Syarh al-Fiqh al-Akbar, h. 13).

3 . Al-Imam al-Mujtahid Abu ‘Abdillah Ahmad ibn Hanbal (w 241 H), perintis madzhab Hanbali, juga seorang Imam yang agung ahli tauhid. Beliau mensucikan Allah dari tempat dan arah. Bahkan beliau adalah salah seorang terkemuka dalam akidah tanzih.

"وَأَنْكَرَ عَلَى مَنْ يَقُوْلُ بِالْـجِسْمِ وَقَالَ إِنَّ الْأَسْـمَاءَ مَأْخُوْذَةٌ بِالشَّرِيْعَةِ وَاللُّغَةِ. وَأَهْلُ اللُّغَةُ وَضَعُوْا هَذَا الاِسْمَ عَلَى كُلِّ ذِيْ طَوْلٍ وَعَرْضٍ وَسَـمْكٍ وَتَرْكِيْبٍ وَصُوْرَةٍ وَتَأْلِيْفٍ وَاللهُ تَعَالَى خَارِجٌ عَنْ ذَلِكَ كُلِّهِ فَلَمْ يـَجُزْ أَنْ يُسَمَّى جِسْمًا لِـخُرُوْجِهِ عَنْ مَعْنَى الْـجِسْمِيَّةِ وَلَـمْ يَـجِئْ فِي الشَّرِيْعَةِ ذَلِكَ فَبَطَلَ".

" Beliau [Imam Ahmad bin Hanbal] mengingkari mereka yang menyifatkan Tuhan dengan kejisiman. Beliau [Imam Ahmad] berkata: Sesungguhnya, nama-nama itu diambil daripada syariat dan bahasa. Adapun ahli bahasa [Arab] meletakkan nama tersebut -jisim- dengan maksud, sesuatu yang ada ukuran ketinggian, ukuran lebar, tersusun dengan beberapa anggota, mempunyai bentuk dan sebagainya, sedangkan Allah di luar daripada yang demikian [tidak mempunyai cantuman, anggota dan sebagainya] Maka, tidak boleh dinamai Allah sebagai Jisim kerana Allah di luar [terkeluar dari] makna kejisiman [tidak beranggota, tiada ukuran, tiada bentuk dan sebagainya] dan syariat tidak pernah menyebut tentang perkara tersebut [penyamaan Dzat Allah dengan jisim] maka batallah [fahaman Tajsim atau Allah berjisim]". Manaqib al-Imam Ahmad oleh al-Imam al-Baihaqi dan rujuk I`tiqad al-Imam al-Mubajjal Ibn Hanbal, h. 294-295.

Al-Imam al-Mujtahid al-Jalil Abu Abdullah Ahmad Ibn Hanbal radiyallahu`anhu (W. 231 H) juga berkata:

"وَأَمَّا الْإِمَامُ الْـجَلِيْلُ أَبُوْ عَبْدُ اللهِ أَحْـمَدُ بْنُ حَنْبَلٍ الشَيْبَانـِيْ فَقَدْ ذَكَرَ الشَّيْخُ ابن حَجَرِ الْـهَيْثَمِيْ أَنَّهُ كَانَ مِنَ الْمُنَزِّهِيْنَ اللهَ تَعَالَى عَنِ الْـجِهَةِ وَالْـجِسْمِيَّةِ، ثُـمَّ قَالَ ابْنُ حَجَرٍ مَا نَصَّهُ: وَمَا اشْتَهَرَ بَيْنَ جَهَلَةِ الْمَنْسُوْبِيْنَ إِلَى هَذَا الْإِمَامِ الأَعْظَمِ مِنْ أَنَّهُ قَائِلٌ بِشَيْءٍ مِنَ الْـجِهَةِ أَوْ نَـحْوِهَا فَكِذْبٌ وَبُهْتَانٌ وَافْتِـرَاءٌ عَلَيْهِ".

"Dan adapun al-Imam Ahmad al-Jalil Abu `Abdullah Ahmad bin Muhammad bin Hanbal Syaibani bahawasanya beliau [Imam Ahmad] dalam kalangan mereka yang mensucikan Allah ta`ala daripada sebarang tempat dan kejisiman. Kemudian, Ibnu Hajar berkata: Adapun yang masyhur dalam kalangan orang-orang jahil yang menisbahkan kepada Imam yang agung ini, bahawa beliau bercakap tentang [Allah ta`ala] bertempat dan sebagainya, maka ia merupakan sesuatu yang dusta, tipu daya dan rekaan ke atas beliau". (Syaikh al-Islam Ahmad bin Muhammad bin `Ali bin Hajar al-Haithamiy al-Makki al-Misri (t.t), al-Fatawa al-Hadithiyyah, (t.t.p): Dar Ihya’ al-Turath al-`Arabiy, h. 144) .

Al-Imam al-Mujtahid al-Jalil Abu Abdullah Ahmad Ibn Hanbal radiyallahu`anhu (W. 231 H) juga berkata :

"كَانَ يَقُوْلُ- أَيْ الْإِمَامُ أَحْـمَدُ- فِيْ مَعْنَى الاِسْتِوَاءِ هُوَ العَلُوُّ وَالاِرْتِفَاعُ وَلَـمْ يَزَلِ اللهُ عَالِيًا رَفِيْعًا قَبْلَ أَنْ يَخْلُقَ عَرْشَهُ فَهُوَ فَوْقَ كُلِّ شَيْءٍ وَالْعَالِيْ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ...عَلا وَلَا يَـجُوْزُ أَنْ يُقَالَ اسْتَوَىْ بِـمُمَاسَةٍ وَلا بِـمُلَاقَاةٍ تَعَالَى اللهُ عَنْ ذَلِكَ عُلُوًّا كَبِيْرًا وَاللهُ تَعَالَى لَـمْ يَلْحِقْهُ تَغْيِيْرٌ وَلَا تَبْدِيْلٌ وَلَا تَلْحَقُهُ الْـحُدُوْدُ قَبْلَ خَلْقِ الْعَرْشِ وَلَا بَعْدَ خَلْقِ الْعَرْشِ".

"Telah berkata –iaitu al-Imam Ahmad- pada menjelaskan tentang makna istawa iaitu ketinggian darjat dan keagungan-Nya. Allah ta`ala sentiasa Maha Tinggi dan Maha Tinggi [darjat-Nya] sebelum Dia menciptakan `Arasy. Dia di atas setiap sesuatu dan Maha Tinggi [kedudukan-Nya] daripada setiap sesuatu… Tidak boleh seseorang berkata bahawasanya, istawa itu zat Allah ta`ala menyentuh `Arasy atau menempatinya. Maha Suci Allah ta`ala daripadanya [bertempat] setinggi-tinggi-Nya. Dia tidak akan berubah-ubah, tidak dibatasi dengan sebarang batasan sebelum penciptaan `Arasy dan setelah kejadian [terciptanya] `Arasy tersebut". (Abu al-Fadhl al-Tamimi (t.t), Risalah al-Tamimi, (t.tp): (t.p), j. 2, h. 265/290.)

4 . Al-Imam Malik perintis madzhab maliki pernah ditanya tentang makna “Istawa” sepertimana yang diriwayatkan oleh al-Imam al-Baihaqi di dalam kitabnya al-Asma’ Wa al--Sifat:

"يَا أَبَا عَبْد ِاللهِ: الرَّحْمـَــــٰنُ عَلَى الْعَرْشِ اسْتَوَىْ كَيْفَ اسْتِوَاؤُهُ؟ قَالَ: فَأَطْرَقَ مَالِكٌ وَأَخَذَتْهُ الرَّحْضَاءَ ثُـمَّ رَفَعَ رَأْسَهُ فَقَالَ: الرَّحْـمَـٰنُ عَلَى الْعَرْشِ اسْتَوَىْ كَمَا وَصَفَ نَفْسَهُ، وَلَا يُقَالُ كَيْفَ وَكَيْفَ عَنْهَ مَرْفُوْعٌ وَأَنْتَ رَجُلٌ سُوْءٌ صَاحِبُ بِدْعَةٍ أَخَرَجُوْهُ. قَالَ فَأَخْرُجَ الرَّجُلَ".

"Wahai Abu Abdillah: “Al-Rahman beristawa ke atas Arasy”, bagaimana Dia istawa? Maka al-Imam Malik menundukkan kepalanya dan peluh membasahinya, kemudian beliau mengangkat mukanya lalu berkata: “Al-Rahman beristawa ke atas Arasy sepertimana Dia sifatkan diri-Nya dan tidak boleh dikatakan bagaimana [istiwa`-Nya] dan kaif [bagaimana istiwa`-Nya] diangkat daripada-Nya [tidak ada bagi-Nya kaif]. Sesungguhnya engkau ahli bid`ah, usirlah dia. Maka lelaki itupun diusir pergi" . (Al-Imam al-Bayhaqi, al-Asma’ was-Sifat; Bab ma ja’ fi al-`Arsy wa al-Kursi, Dar Al-Jail Beirut, hlm. 568 ).

Dan riwayat yang lain sebagaimana yang dinyatakan oleh al-Imam al-Baihaqi imam malik berkata :

"الاِسْتِوَاءُ غَيْرُ مَـجْهُوْلٍ وَالْكَيْفُ غَيْرُ مَعْقُوْلٍ، وَالْإِيْـمَانُ بِهِ وَاجِبٌ وَالسُّؤَالُ عَنْهُ بِدْعَةٌ".

"Al-Istiwa’ tidak dijahilkan [iaitu diketahui ia daripada al-Quran] dan Kaif [bagaimana istiwa-Nya] tidak diakalkan [iaitu tidak boleh diterima akal] dan beriman dengannya [istiwa` Allah ta`ala ke atas Arasy] wajib dan bertanya tentangnya [bagaimana istiwa-Nya] adalah bid`ah"

PERINGATAN . . . !!!

1. Imam Ibn Hajar al-Haitami berkata :

وَمَا اشْتُهِرَ بَيْنَ جَهَلَةِ الْمَنْسُوْبِيْنَ إلَى هذَا الإمَامِ الأعْظَمِ الْمُجْتَهِدِ مِنْ أنّهُ قَائِلٌ بِشَىءٍ مِنَ الْجِهَةِ أوْ نَحْوِهَا فَكَذِبٌ وَبُهْتَانٌ وَافْتِرَاءٌ عَلَيْهِ.

“Apa yang tersebar di kalangan orang-orang bodoh yang menisbatkan dirinya kepada madzhab Hanbali bahwa beliau telah menetapkan adanya tempat dan arah bagi Allah, maka sungguh hal tersebut adalah merupakan kedustaan dan kebohongan besar atasnya” (Lihat Ibn Hajar al-Haitami dalam al-Fatawa al-Haditsiyyah, h. 144)

2 . Konsensus 4 Madzhab Tentang Kekufuran Orang Yang Menetapkan Tempat Dan Arah Bagi Allah
Asy-Syaikh al-‘Allâmah Syihabuddin Ahmad ibn Muhammad al-Mishri asy-Syafi’i al-Asy’ari (w 974 H) yang lebih dikenal dengan nama Ibn Hajar al-Haitami dalam karyanya berjudul al-Minhâj al-Qawîm ‘Alâ al-Muqaddimah al-Hadlramiyyah menuliskan sebagai berikut:

"واعلم أن القَرَافي وغيره حكوا عن الشافعي ومالك وأحمد وأبي حنيفة رضي الله عنهم القول بكفر القائلين بالجهة والتجسيم، وهم حقيقون بذلك"

“Ketahuilah bahwa al-Qarafi dan lainnya telah meriwayatkan dari al-Imâm asy-Syafi’i, al-Imâm Malik, al-Imâm Ahmad dan al-Imâm Abu Hanifah bahwa mereka semua sepakat mengatakan bahwa seorang yang menetapkan arah bagi Allah dan mengatakan bahwa Allah adalah benda maka orang tersebut telah menjadi kafir. Mereka semua (para Imam madzhab) tersebut telah benar-benar menyatakan demikian. ( al-Minhâj al-Qawîm ‘Alâ al-Muqaddimah al-Hadlramiyyah, h. 224)

*********

Dengan penjelasan ini menjadi sangat terang bagi kita bahwa Aqidah yang benar sesuai Aqidah Rasulullah SAW adalah sepertihalnya apa yang disampaikan Asy’ariyah Dan Maturidiyyah “ ALLAH ADA TANPA TEMPAT DAN ARAH “ .

وذكر الغز بن عبد السلام : ان عقيدة الاشعري اجمع عليها الشافعية والمالكية والحنفية وفضلاء الحنابلة ووافقه علي ذلك.
Al Ustadz Abdus Syakur dalam kitabnya Al kawakibu Lam’ah Hal 14 mengatakan : Syeikh Izzudin bin abdis salam mengatakan : Bahwasanya Ulama’ Syafi’iyyah, Malikiyyah, Hanafiyyah, Dan para Pembesar ulama’ Hanabilah SEPAKAT / ijma’ atas Aqidah Asy’ariy .

Dan keyakinan Allah berada di langit yang dituduhkan sebagai keyakinan Al-Imam Abu Hanifah adalah kedustaan belaka yang sama seakali tidak benar dan tidak dapat dipertanggungjawabkan. Tuduhan semacam ini tidak hanya kedustaan kepada Al-Imam Abu Hanifah semata, tapi juga kedusataan terhadap orang-orang Islam secara keseluruhan dan kedustaan terhadap ajaran-ajaran Islam itu sendiri.

Al Hamdu Lillah Rabb al-Alamin

https://www.facebook.com/photo.php?fbid=305454386226952&set=a.176528345786224.32039.100002871798243&type=1&theater&notif_t=photo_comment_tagged

 

Di Manakah Allah?

Sabtu, 27 Maret 2010 17:00


Alhamdulillah wa shalaatu wa salaamu ‘ala Rasulillah wa ‘ala aalihi wa shohbihi ajma’in. Para pengunjung Rumaysho.com yang semoga senantiasa mendapat penjagaan Allah Ta’ala. Pada kesempatan kali ini kita akan melanjutkan kembali pembuktian mengenai aqidah Allah berada di atas langit, di atas seluruh makhluk-Nya. Yang kita utarakan nanti adalah perkataan empat imam madzhab mengenai ideologi tersebut. Kita dapat saksikan bahwa empat imam madzhab sepakat dalam hal ini dan orang-orang semacam abusalafy yang menganut aqidah Jahmiyah yang melenceng jauh dari aqidah mereka-mereka ini. Semoga Allah senantiasa memberi taufik.





Sikap Keras Abu Hanifah[1] Terhadap Orang Yang Tidak Tahu Di Manakah Allah

Imam Abu Hanifah mengatakan dalam Fiqhul Akbar,

من انكر ان الله تعالى في السماء فقد كفر


“Barangsiapa yang mengingkari keberadaan Allah di atas langit, maka ia kafir.”[2]

Dari Abu Muthi’ Al Hakam bin Abdillah Al Balkhiy -pemilik kitab Al Fiqhul Akbar-[3], beliau berkata,

سألت أبا حنيفة عمن يقول لا أعرف ربي في السماء أو في الأرض فقال قد كفر لأن الله تعالى يقول الرحمن على العرش استوى وعرشه فوق سمواته  فقلت إنه يقول أقول على العرش استوى ولكن قال لا يدري العرش في السماء أو في الأرض  قال إذا أنكر أنه في السماء فقد كفر رواها صاحب الفاروق بإسناد عن أبي بكر بن نصير بن يحيى عن الحكم


Aku bertanya pada Abu Hanifah mengenai perkataan seseorang yang menyatakan, “Aku tidak mengetahui di manakah Rabbku, di langit ataukah di bumi?” Imam Abu Hanifah lantas mengatakan, “Orang tersebut telah kafir karena Allah Ta’ala sendiri berfirman,

الرَّحْمَنُ عَلَى الْعَرْشِ اسْتَوَى


“Allah menetap tinggi di atas ‘Arsy”.[4] Dan ‘Arsy-Nya berada di atas langit.” Orang tersebut mengatakan lagi, “Aku berkata bahwa Allah memang menetap di atas ‘Arsy.” Akan tetapi orang ini tidak mengetahui di manakah ‘Arsy, di langit ataukah di bumi. Abu Hanifah lantas mengatakan, “Jika orang tersebut mengingkari Allah di atas langit, maka dia kafir.”[5]

 

http://rumaysho.com/belajar-islam/aqidah/2973-di-manakah-allah-4.html

5 komentar:

  1. Wa'alaikum salam wr wb,
    Ayat-ayat yang anda sampaikan benar, yaitu Allah ada di atas 'Arasy/di Langit.

    Tapi ada juga ayat-ayat yang menyatakan lain yang juga harus kita yakini kebenarannya. Tidak boleh kita ingkari.

    Jangan sampai ayat Langit kita artikan secara zahir, ayat lain tidak. Malah ditakwil-takwilkan.

    Contoh ayat2 lain itu:
    "Dan apabila hamba-hamba-Ku bertanya kepadamu tentang Aku, maka (jawablah), bahwasanya Aku adalah DEKAT.." Al Baqarah 186]

    "Dan sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dan mengetahui apa yang dibisikkan oleh hatinya, dan Kami lebih dekat kepadanya daripada urat lehernya" [Qaaf 16]

    Nah ayat-ayat itu juga harus diimani. Tidak boleh diingkari. Tidak boleh ayat2 pertama ditakwilkan secara zahir/harfiah, namun ayat2 di bawah tidak. Itu tidak konsisten/tidak istiqomah.

    Kalau kita meyakini Allah ada di atas langit tapi tidak ada di bawah langit atau di bumi ini, berarti Allah itu lebih kecil dari jagad raya. Lebih kecil dari makhluknya. Padahal Allah Maha Besar. Lebih besar dari jagad raya ini. Ini juga memaknai Allah BUTUH tempat. Allah Perlu Makhluk. Padahal Allah itu Maha Kaya!

    "Dan kepunyaan Allah-lah timur dan barat, maka kemanapun kamu menghadap di situlah wajah Allah. Sesungguhnya Allah Maha Luas lagi Maha Mengetahui." [Al Baqarah 115\

    Coba lihat kebesaran Allah yang meliputi Langit dan Bumi. Jadi bukan sekedar di atas langit, tapi tidak ada di bumi:

    "Kursi Allah meliputi langit dan bumi" [Al Baqarah 255]

    Coba kita bayangkan makhluk Allah: "UDARA".

    Saat ada yang bilang Udara ada di langit/atmosfir/di atas awan, kita akan bilang benar. Saat ada yang bilang Udara ada di AS itu benar. Saat ada yang bilang udara ada di Jakarta juga benar. Semua benar karena udara itu memang luas/besar. Tidak ada yang salah jadinya. Itu baru makhluk Allah.

    Allah itu lebih besar lagi. Saat ada yang bilang Allah di atas 'Arasy benar. Tapi saat ada yang bilang Allah itu Dekat bahkan lebih dekat dari urat Leher Kita, itu juga benar. Itu harus kita imani. Tidak boleh kita ingkari:

    Sesungguhnya orang-orang yang kafir kepada Allah dan rasu-rasul-Nya, dan bermaksud memperbedakan antara (keimanan kepada) Allah dan rasul-rasul-Nya, dengan mengatakan: "Kami beriman kepada yang sebahagian dan kami kafir terhadap sebahagian (yang lain)", serta bermaksud (dengan perkataan itu) mengambil jalan (tengah) di antara yang demikian (iman atau kafir) merekalah orang-orang yang kafir sebenar-benarnya. Kami telah menyediakan untuk orang-orang yang kafir itu siksaan yang menghinakan. (TQS al-Nisa' [4]: 150-151).

    Jangan kita membentur-benturkan 2 ayat yang kelihatannya berlawanan padahal sebetulnya tidak. Apalagi untuk mengkafirkan Muslim lain yang meyakini juga kalau Allah itu dekat dengan makhluknya:

    Nabi bersabda:

    اِقْرَأُوْا الْقُرْآنَ مَا ائْتَلَفَتْ عَلَيْهِ قُلُوْبُكُمْ فَإِذَا اخْتَلَفْتُمْ فَقُوْمُوْا عَنْهُ
    “Bacalah Al-Qur`an selama hati-hati kalian masih bersatu, maka jika kalian sudah berselisih maka berdirilah darinya”. [Shohihain]

    Dan dalam Al-Musnad dan Sunan Ibnu Majah –dan asalnya dalam Shohih Muslim- dari ‘Abdullah bin ‘Amr :
    “Sesungguhnya Nabi SAW pernah keluar sedangkan mereka (sebagian shahabat-pent.) sedang berselisih tentang taqdir, maka memerahlah wajah beliau bagaikan merahnya buah rumman karena marah, maka beliau bersabda : “Apakah dengan ini kalian diperintah?! Atau untuk inikah kalian diciptakan?! Kalian membenturkan sebagian Al-Qur’an dengan sebagiannya!! Karena inilah umat-umat sebelum kalian binasa”.

    Baca selengkapnya di: http://media-islam.or.id/2013/01/09/jangan-berdebat/

    BalasHapus
  2. terima kasih ustadz,

    maaf pak,mohon satu penjalasan lagi..

    seandainya saya mengimani seperti seperti ayat-ayat Al-qur'an yang saya tuliskan TANPA menampikkan ayat-ayat & penjelasan yang pak ustazd sampainkan,apakan saya termasuk sesat ?

    kelau ada salah saya karena kebodohan saya ini sy mohon maaf kepada pak ustadz dan sya mohon ampun yang sebesar-besarnya kepada ALLAH,semoga kita termasuk kedalam orang-orang yang dirahmati olah Allah,dan allah membalas semua kebaikan yang telah pak ustadz berikan

    terima kasih banyak atas penjelasannya,

    jazakaallu khairan katsiro

    BalasHapus
  3. SEMUA AYAT AL QUR'AN HARUS DIIMANI termasuk ayat2 ini:

    “Dan apabila hamba-hamba-Ku bertanya kepadamu tentang Aku, maka (jawablah), bahwasanya Aku adalah DEKAT..” Al Baqarah 186]
    “Dan sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dan mengetahui apa yang dibisikkan oleh hatinya, dan Kami lebih dekat kepadanya daripada urat lehernya” [Qaaf 16]
    “Dan kepunyaan Allah-lah timur dan barat, maka kemanapun kamu menghadap di situlah wajah Allah. Sesungguhnya Allah Maha Luas lagi Maha Mengetahui.” [Al Baqarah 115\

    Tidak boleh Iman sebagian dan kafir sebagian:
    Sesungguhnya orang-orang yang kafir kepada Allah dan rasu-rasul-Nya, dan bermaksud memperbedakan antara (keimanan kepada) Allah dan rasul-rasul-Nya, dengan mengatakan: “Kami beriman kepada yang sebahagian dan kami kafir terhadap sebahagian (yang lain)”, serta bermaksud (dengan perkataan itu) mengambil jalan (tengah) di antara yang demikian (iman atau kafir) merekalah orang-orang yang kafir sebenar-benarnya.. (TQS al-Nisa’ [4]: 150-151).

    BalasHapus
  4. tentu saja itu juga harus di imani... dekat, lebih dekat dari urat leher ini artinya ALLAH mengetahui segala sesuatu... sehingga lebih tau diri kita ketimbang kita sendiri...
    sama, dimanapun menghadapa disitulah wajah ALLAH, itu berarti ALLAH maha melihat. dimanapun kamu, ALLAH melihat kamu...

    lihat juga ma'arij : 4 "malaikat naik menghadap TUHAN"
    peristiwa isra' mi'raj, nabi mundar mandir naik turun, naik menghadap ALLAH, turun bertemu nabi musa, naik lagi menghadap ALLAH, begitu berturut2.

    dalil fitroh, sering kita dengar "serahkan pada yg di atas"
    sering kita lihat khotib2 ketika berceramah, ketika menyebut ALLAH, sering mengacungkan jari telunjuk ke atas. anehnya, mereka tidak mengakui ALLAH berada di atas.

    BalasHapus
  5. Saat ini kita sudah bisa mengirim orang ke Bulan dan astronot lainnya ke ruang angkasa mengitari bumi. Jelas terlihat kalau bumi itu bundar seperti bola.
    Artinya jika orang di Kutub Utara menunjuk ke atas, maka saat orang di Kutub Selatan menunjuk ke "Atas", kita yang melihatnya dari bulan akan melihat orang di Kutub Selatan menunjuk ke bawah.
    Atas tidak bisa ditafsirkan dgn langit.
    Apa jika Allah ada di atas atau di langit, berarti di bumi ini tidak ada? Tidak dekat bersama kita?
    Lalu bagaimana dgn ayat ini di mana Nabi Musa untuk bertemu Allah cukup ke lembah Thuwa:

    "Tatkala Tuhannya memanggilnya di lembah suci ialah Lembah Thuwa" [An Naazi'aat 16]

    "Tatkala Tuhannya memanggilnya di lembah suci ialah Lembah Thuwa;" [Thaahaa 12]

    Jadi jangan sampai karena ada orang menganggap Allah itu dekat, kita sebut kafir karena kita menganggap Allah ada di atas. Allah ada di langit. Na'udzubillah min dzalik.

    Barang siapa menyebut seorang Muslim kafir, padahal tidak, maka dialah yang kafir.

    BalasHapus