Iklan 2

Selasa, 20 Agustus 2013

Pelajaran Penting dari Kudeta Mesir

Satu tulisan yang bagus untuk dianalisa...


Pelajaran Penting dari Kudeta Mesir


Posted by : Ahmad SadzaliSenin, 19 Agustus 2013




 


Kudeta Militer tanggal 3 Juli 2013 lalu telah menorehkan sejarah baru dalam percaturan politik dunia. Kudeta itu telah mencoreng sistem demokrasi yang tengah dijalankan Mesir dan digemborkan oleh dunia Barat, khususnya Amerika Serikat. Namun anehnya, Amerika Serikat sebagai negara pengkampanye demokrasi sendiri masih bungkam untuk mengatakan bahwa yang terjadi terhadap Presiden terpilih Dr. Muhammad Mursi itu sebagai bentuk kudeta.

Banyak sekali pelajaran yang dapat kita ambil dari peristiwa bersejarah di Mesir tersebut. Bukan hanya rakyat Mesir sendiri yang merasakannya, namun seluruh umat Islam dan dunia internasional. Berikut ini penulis berusaha menganalisa pelajaran-pelajaran penting tersebut, berlandaskan pada observasi pribadi.

Pertama, logika demokrasi sudah mengalahkan logika syariat. Ketika Presiden Dr. Muhammad Mursi dikudeta oleh militer Mesir dengan dukungan aksi demonstrasi besar pada 30 Juni 2013, para pendukung Mursi dan Ikhwanul Muslimin serentak mengatakan tindakan militer itu melanggar demokrasi. Tidak hanya yang berada di Mesir, umat Islam yang berada di berbagai penjuru dunia pun, termasuk di Indonesia, tersentak dengan pristiwa itu. Karena memang benar tindakan kudeta itu sangat bertentangan dengan demokrasi, lantas mereka pun menentang militer Mesir.

Logika demokrasi memang mengatakan bahwa kekuasaan itu dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat. Artinya yang memberika kekuasaan dalam logika demokrasi adalah rakyat. Makanya muncul istilah suara rakyat suara Tuhan. Berdasarkan logika ini, lantas pendukung Mursi dan Ikhwanul Muslimin selalu melawan tindakan kudeta dan berdemonstrasi menuntut kekuasaan Mursi dikembalikan dengan dalih demokrasi dan menuntut keadilan.

Padahal logika syariat jelas tidak berkata seperti itu. Berdasarkan logika syariat, kekuasaan itu tentu berasal dari Allah SWT. Yang memberikan dan mencabut kekuasaan adalah Allah SWT. Nas al-Quran sangat jelas dan tegas menyatakan seperti itu. "Katakanlah (Muhammad), "Wahai Tuhan pemilik kekuasaan, Engkau berikan kekuasaan kepada siapapun yang Engkau kehendaki, dan Engkau cabut kekuasaan dari siapapun yang Engkau kehendaki."

Jadi jelas, logika syariat akan mengatakan bahwa kekuasaan Presiden Mursi itu bukan dicabut oleh kudeta militer, melainkan Allah SWT yang mencabutnya. Pencabutan kekuasaan ini mungkin seperti kematian, Allah SWT Yang Maha Berkehendak.

Tidak salah memang upaya dan perjuangan untuk mendapatkan kekuasaan. Namun jika ingin mendapatkan kembali kekuasaan tersebut, mari mengikuti aturan yang sudah ditetapkan lagi. Sehingga perjuangan politik Islam yang sejati dan ambisi rakus kekuasaan tidak terlihat tipis perbedaannya. Jika memang Allah SWT menghendaki kekuasaan itu kembali ke tangan Ikhwanul Muslimin, niscaya kekuasaan itu akan kembali lagi.

Namun jika jalur yang ditempuh untuk merebut kembali kekuasaan itu adalah dengan berdemonstrasi terus menerus, yang ada justru hanya ngotot-ngototan mempertahankan sikap setiap golongan, sementara mudaratnya semakin tinggi. Terbukti, korban jiwa yang sudah jatuh sudah ratusan lebih.

Kedua, ukhuwah Islamiah terbukti sangat kuat sekali. Melihat kelompok Islamis Ikhwanul Muslimin didzalimi militer Mesir, serentak umat Islam diberbagai penjuru dunia melontarkan kecaman terhadap militer Mesir.

Namun sayangnya, ukhuwah Islamiah yang begitu kuat ini ternyata masih dipolitisi untuk ambisi politik. Krisis politik lantas dihubungkan dengan agama Islam, dengan alasan ukhuwah, jihad, dan lain sebagainya.

Oleh karena itulah, ulama-ulama al-Azhar lantas dengan tegas menyatakan bahwa kisruh politik Mesir saat ini tidak ada sangkut-pautnya dengan agama Islam. Jadi jangan bawa simbol-simbol Islam dalam perkara itu hanya untuk mencari simpati dari kekuatan ukhuwah Islamiah. Itu murni urusan politik dan perebutan kekuasaan.

Namun pernyataan ulama-ulama al-Azhar itu lantas banyak yang diselewengkan dan tidak dipahami secara benar. Pernyataan seperti itu lantas dibilang sekuler, liberal dan lain sebagainya. Asal mendengar politik tidak ada hubungannya dengan Islam, pernyataan miring seperti itu lantas meletus-letus.

Saya berusaha memahami dan memahamkan pendapat seperti itu. Sikap ulama-ulama Al-Azhar sebenarnya bukan pro-militer, tapi mengedepankan maslahat dan benar-benar berpegang pada prinsip syariat Islam. Adapun yang dibilang bahwa urusan Ikhwanul Muslimin dan krisis di Mesir sekarang ini memang benar tidak ada sangkut pautnya dengan agama Islam. Itu adalah masalah politik dan perebutan kekuasaan, tidak ada sangkut pautnya dengan agama. Apalagi membawa simbol-simbol agama, hanya untuk mencari simpati, seperti penggunaan istilah syahid dan jihad.

Namun sayangnya, terkadang di poin ini orang-orang yang salah menangkap dan memahaminya. Mendengar politik tidak ada hubungannya dengan agama, lantas pernyataan itu dinilai sekular atau liberal. Padahal yang dimaksud bukan demikian. Politik dan agama Islam itu sangat erat hubungannya. Gak bisa dipisahkan. Tapi, yang dimaksud para ulama al-Azhar itu adalah, KASUS yang terjadi sekarang, itu bukan perang agama atau perjuangan agama, melainkan perjuangan perebutan kekuasaan.

Dr. Muhammad Imarah pernah mengatakan soal hubungan negara dan agama Islam. Selama ini hubungan antara agama dan negara sepertinya hanya terbagi menjadi dua jenis: 1) penggabungan agama dan negara, yaitu menjadi negara teokrasi, seperti era Kegelapan Eropa dulu ketika negara dikuasai gereja. 2) sekuler, dimana agama dipisahkan dari negara. Sedangkan dalam Islam, sebenarnya tidak mengenal keduanya secara mutlak.

Untuk yang sekuler, dalam bahasa Arab biasanya disebut fashlu din 'an daulah. Yang benar dalam Islam itu, menurut Dr. Imarah, adalah tamyiz din 'an daulah. Istilah tamyiz seperti ini memang susah jika dicari terjemahannya ke dalam bahasa Indonesia. Tamyiz di sini maksudnya adalah filterasi atau pemilahan mana perkara yang merupakan bagian dari agama dan sekaligus negara atau politik, dan mana yang mursi bagian dari urusan negara atau politik.

Jadi, pendapat para ulama al-Azhar tentang kasus politik yang saat ini terjadi di Mesir, menurut hemat saya adalah bagian dari tamyiz din 'an daulah. Jadi tidak semua urusan politik lantas dikaitkan dengan Islam. Apalagi masalah kepentingan perebutan kekuasaan seperti ini, yang lantas mengatasnamakan agama untuk mendapat dukungan dan simpati, jelas keliru.

Jadi intinya, harus dibedakan antara KASUS dan KONSEP. Secara konsep, jelas Islam tidak terpisah dari negara dan politik. Tapi ini adalah kasus, yaitu kasus perebutan kekuasaan.

Ketiga, pengerucutan bahwa isu perjuangan syariat Islam hanyalah milik Ikhwanul Muslimin. Banyak dalih dan argumen yang dilontarkan pendukung Mursi untuk mencari simpati umat Islam. Salah satunya adalah dengan stigma bahwa Ikhwanul Muslimin digulingkan karena ingin menerapkan syariat Islam di Mesir. Dari stigma itu, umat Islam akan terkecoh sehingga menganggap bahwa perjuangan syariat Islam di Mesir hanyalah milik Ikhwanul Muslimin saja.

Stigma tersebut tentu tidak berdasar dan menimbulkan logical fallacy dalam pemikiran umat Islam. Sebab stigma bahwa hanya Ikhwanul Muslimin yang memperjuangkan syariat Islam di Mesir, stigma ini setidaknya sudah menafikan dan tidak menganggap peranan al-Azhar dan ulamanya, serta peranan kelompok Salafi. Selama ini, urusan syariat Islam di Mesir sangat dikawal ketat oleh al-Azhar. Al-Azhar dan kelompok Salafi juga turut menyetujui konstitusi berlandasakan syariat Islam yang sudah direferendum pada masa kepresidenan Mursi. Apalagi Salafi yang dengan ekstrem justru sangat memperjuangkan syariat Islam.

Jadi, stigma bahwa karena Ikhwanul Muslimin menjunjung tinggi syariat Islam lantas kekuasaan mereka digulingkan, secara tidak langsung mengatakan bahwa al-Azhar dan kelompok Salafi tidak melakukan hal itu.

Faktanya, ketika Presiden Mursi dikudeta, al-Azhar dan kelompok Salafi yang juga memperjuangkan syariat Islam juga turut menyetujui kudeta tersebut. Logikanya, seandainya Ikhwanul Muslimin digulingkan karena syariat Islam yang mereka terapkan, tentu al-Azhar dan kelompok Salafi tidak akan merestui kudeta tersebut.

Padahal seharusnya, semangat perjuangan syariat Islam haruslah milik semua umat Islam, apapun golongannya. Artinya, untuk memperjuangkan syariat Islam tidak harus masuk Ikhwanul Muslimin saja. Perjuangan ini masih bisa melalui jalur-jalur lainnya.

Keempat, pengerucutan isu bahwa perjuangan Palestina hanya milik Ikhwanul Muslimin. Selain isu perjuangan syariat Islam yang diangkat untuk mendulang simpati, isu tentang perjuangan Palestina juga diusung. Dianggap bahwa Ikhwanul Muslimin adalah kelompok Islam yang dengan tegas dan keras memperjuangkan Palestina. Sehingga turunnya Mursi dari tampuk kekuasaan juga disebabkan itu. Maka bagi umat Islam yang ingin melihat Palestina merdeka, ayo dukung Ikhwanul Muslimin.

Stigma ini juga berbahaya bagi perjuangan Palestina itu sendiri. Nanti seolah-olah perjuangan Palestina hanya milik Ikhwanul Muslimin saja, seperti halnya stigma perjuangan khilafah Islamiah hanyalah milik Hizbut Tahrir saja. Padahal tidak demikian.

Tidak dapat dinafikan, banyak rakyat Gaza dan Palestina yang suka dengan kepemimpinan Mursi. Perbatasan Rafa juga dibuka. Namun tidak lupa pula bahwa di era Mursi jugalah hampir semua terowongan bawah tanah antara Gaza dan Mesir diberangus. Padahal itu adalah jantung utama segala pasokan untuk rakyat Gaza selama ini.

Perjuangan sesungguhnya bagi rakyat Palestina sejatinya tidak cukup hanya dengan membuka perbatasan Rafah. Kunci utama masalah Palestina sebenarnya ada pada perjanjian Camp David. Jika ingin benar-benar memperjuangkan Palestina, maka batalkan perjanjian perdamaian Mesir-Israel itu. Tapi nyatanya hal itu tidak dilakukan oleh Mursi saat berkuasa. Dalam sebuah video amatir, saya bahkan pernah melihat keakraban Mursi dan petinggi Ikhwanul Muslimin dengan Jimmy Carter (salah satu penandatangan perjanjian Camp David) di kantor Ikhwanul Muslimin. Ada apa dengan ini?!

Jika lantas stigma bahwa perjuangan Palestina ini hanyalah milik Ikhwanul Muslimin, hal ini juga menafikan kelompok lainnya yang juga dengan tegas memperjuangkan Palestina, salah satunya adalah al-Azhar. Apa kita tidak ingat bahwa Ismail Haniyah, pemimpin Gerakan Perlawanan Pelstina (Hamas), datang ke Mesir dan berpidato di atas mimbar masjid al-Azhar pada masa pemerintahan transisi Mesir pertama yang ketika itu masih dipegang militer, bukan di masa Mursi. Dan itu juga berkat al-Azhar sendiri.

Ketika itu Haniyah sangat yakin dan menggebu-gebu mengatakan bahwa kemerdekaan Palestina akan berawal dari mimbar al-Azhar tersebut, seperti halnya dulu Shalahuddin al-Ayyubi membebaskan Palestina.

Apakah benar bahwa hanya Ikhwanul Muslimin saja yang memperjuangkan Palestina, dan rakyat Mesir lainnya tidak?

Ada fakta yang mungkin terlihat aneh yang pernah saya alami. Ketika dulu saya kursus bahasa Turki, salah seorang teman saya orang Mesir bernama Hazim. Ketika itu menjelang pemilu legislatif di Mesir. Saya pun bertanya kepada Hazim tentang pendapatnya terhadap partai-partai Islam. Mungkin karena latarbelangkanya sebagai mahasiswa pariwisata dan sekaligus bekerja pemandu wisata di Museum Kairo, maka ia tidak mendukung partai Islam. Menurutnya, jika partai Islam berkuasa, nanti segala pariwisata yang berkaitan dengan peninggalan Mesir kuno dilarang karena dianggap sebagai berhala. Meski hal itu pada kenyataannya tidak terjadi.

Namun keanehan itu terjadi ketika saya menanyakan sikapnya tentang Camp David dan perang melawan Israel. Ia dengan menggebu-gebu dan panjang lebar mengatakan bahwa saya dan seluruh rakyat Mesir siap perang melawan Israel. Kita bisa lihat, tidak semua orang yang dianggap sekuler dan liberal di Mesir menyukai Israel. Jadi jelas soal anti Israel dan perjuangan Palestina tidak hanya milik Ikhwanul Muslimin saja.

Kelima, terlalu mudah menghukumi orang sebagai sekuler dan liberal. Di Mesir memang ada kelompok dan kubu sekuler dan liberal. Namun istilah ini ternyata menjadi semakin meluas dan mudah diucapkan. Rumusnya menjadi, setiap orang yang tidak mendukung perjuangan Ikhwanul Muslimin atau tidak sejalan dengan kelompok Islam adalah sekuler dan liberal.

Bagi umat Islam di Indonesia yang sudah sangat melek dengan bahaya sekularisme dan liberalisme, stigma liberal dan sekuler ini lantas terlihat angker terdengar dan bahaya sekali. Padahal ada yang perlu kita garisbawahi di sini, bahwa orang-orang sekuler dan liberal di Mesir tidak sama dengan orang-orang sekuler dan liberal di Indonesia.

Orang-orang sekuler dan liberal di Indonesia memang sudah pada tarap dekonstruksi konsep-konsep agama Islam. Mereka menyerang usuluddin Islam. Maka dari itu, kelompok sekuler dan liberal di Indonesia sangat berbahaya sekali.

Sedangkan orang-orang sekuler dan liberal di Mesir, sependek pengamatan saya, tidak sampai seperti itu. Mereka tidak bakal menghantam apalagi mendekonstruksi Islam. Karena jika mereka melakukan hal itu, maka harus berhadapan dulu dengan ulama-ulama al-Azhar. Pemikiran liberal yang nyeleneh di Mesir seperti Nasr Hamid Abu Ziad yang mencoba medekonstruksi konsep al-Quran dengan hermeneutika, harus terpental dari Mesir. Soal agama Islam, al-Azhar sangat berperan dan gigih menjaganya. Jadi, orang sekuler dan liberal tidak bakalan mampu menggoyahkan konsep-konsep agama Islam.

Orang-orang sekuler dan liberal di Mesir, sejatinya yang saya pahami dari berbagai dialog dan wawancara dengan mereka, hanya menginginkan Mesir seperti Tukri. Mesir negara sekuler dalam artian agama Islam dan ajarannya tidak dilembagakan secara formal dalam bentuk konstitusi dan undang-undang.

Keenam, umat Islam masih ada yang kurang arif dan bijak dalam berbeda pendapat. Hal ini terlihat dari cacian dan makian yang dilontarkan terhadap para ulama dan al-Azhar yang mendukung kudeta. Saya pernah membaca status orang yang mengatakan bahwa lapangan bundaran Rabiah al-Adawiyah yang menjadi basis demonstrasi pendukung Mursi seharusnya menjadi contoh bagi peradaban Islam. Dalam batin saya mengatakan, penulis status itu lupa atau tidak tahu bahwa di tempat itu juga para ulama yang berseberangan pendapat dari mereka dihina dan dicaci.

Saya bahkan menyaksikannya secara langsung baik ketika berkunjung ke Rabiah al-Adawiyah pada demonstrasi pertama pendukung Ikhwanul Muslimin sekitar sepuluh hari sebelum tanggal demonstrasi anti Mursi pada tanggal 30 Juni 2013, maupaun mengamati lewat televisi yang disiarkan live oleh stasiun Aljazeera. Saya menyaksikan bagaimana Syaikh al-Azhar, Dr. Ahmad Thayyib, direndahkan dan dilecehkan martabatnya.

Tidak hanya itu, beberapa hari lalu ketika melintas di sekitar Rabiah al-Adawiyah, banyak coretan-coretan tembok yang dibuat oleh pendukung Mursi. Isi coret-coretan tersebut intinya menghina Jendral al-Sisi dengan mengatakan dia sebagai pembunuh dan pengkhianat. Tapi sayangnya, di antara coretan itu juga, ada yang menulis, “yasquth baba al-Azhar”, “turun paus al-Azhar”.

Tidak hanya orang Mesir, orang lain, termasuk orang-orang Indonesia yang dengan fanatiknya mendukung Ikhwanul Muslimin, juga ada yang melakukan hal demikian. Mereka yang tidak memahami betul bagaimana sikap dan pendapat ulama, lantas dengan seenaknya mengatakan bahwa ulama itu adalah ulama syaitan, ulama suu, dan cacian lainnya.

Fakta ini menunjukkan bahwa umat Islam masih ada yang belum arif dan bijak dalam berbeda pendapat. Bahkan sikap mereka terhadap ulama yang seperti itu, menunjukkan bahwa umat Islam semakin jauh dari ulama-ulamanya. Na’udzubillah.

Lalu bagaimankah seharusnya kita bersikap terhadap Ikhwanul Muslimin?

Jawabannya sederhana. Kita tidak boleh antipati terhadap kondisi yang tengah dihadapi Ikhwanul Muslimin. Bahwa mereka didzalimi, banyak nyawa melayang dari kubu mereka, bahkan hingga dituduh teroris, itu semua merupakan keprihatinan kita. Ketika mereka menderita, tentu kita sebagai Muslim turut merasakannya. Intinya, selama mereka didzalimi, selama itu juga kita memberikan dukungannya.

Akan tetapi dalam ranah politik, tentu kita sebagai warga asing bagi Mesir, tidak bisa turut intervensi urusan politik dalam negeri. Sebatas mendukung perjuangan politik Ikhwanul Muslimin untuk merebut kembali kekuasaannya, mungkin masih dalam tarap yang wajar. Tapi harus dibedakan mana yang disebut dengan mendukung, mana yang disebut dengan intervensi atau campur tangan.

Dan yang paling perlu digarisbawahi adalah, Ikhwanul Muslimin itu walau bagaimanapun perjuangan mereka, tetaplah manusia yang bisa benar dan bisa salah. Jadi dukungan terhadap Ikhwanul Muslimin semestinya sewajarnya saja. Jangan sampai pada tarap anggapan bahwa Ikhwanul Muslimin itu adalah malaikan yang tidak bisa salah.

Jadi intinya, hendaklah kita bersikap adil dan proporsional dalam menanggapi kisruh politik Mesir yang saat ini terjadi. Kita perlu hati-hati dalam menyikapi setiap informasi yang beredar tentang kisruh ini. Karena di zaman fitnah, kebenaran akan terlihat berkolaborasi dengan kebatilan dan seakan susah dibedakan.

Begitulah sedikit pelajaran penting yang dapat kita ambil dari kisruh politik yang terjadi di Mesir sekarang ini. Masih banyak sebenarnya pelajaran-pelajaran lainnya. Semoga kita bisa mengambil hikmah dan pelajaran dari kisruh ini. Wallahu’alam.[]
Oleh: Ahmad Sadzali.



1 komentar: